The Reason Why I Give Up

batiar
Chapter #6

Hati.

Jika kalian bertanya, bagaimana perasaanku setelah membaca bab pertama cerita Mika, jujur, ini sulit. Sangat sulit untuk kupercaya. Bahkan, entah sudah berapa kali aku diam sembari membayangkan, seolah aku memang ada di sana, menyaksikan langsung apa yang terjadi kepada Mika.

Berulang kali aku berhenti membaca, merasa marah sekaligus tidak percaya. Hasbi? Sepertinya aku tidak asing dengan nama itu. Entah aku pernah mendengarnya di mana. Tapi, yang jelas, cowok bernama Hasbi itu sudah keterlaluan. Kenapa, sih, cowok selalu seperti itu, main pukul seenaknya? Apa mereka tidak pernah berpikir sebelum bertindak? Dan, lagipula, apa perlu cowok bernama Hasbi itu melakukan hal semacam itu? Membuat Mika malu di depan semua orang?

Kembali ponselku berdering, dan nama Nadin muncul di layarnya. Butuh waktu lumayan lama sampai akhirnya kuputuskan untuk mengangkat panggilan darinya, lalu suara Nadin terdengar di detik pertama kutempelkan benda itu di telinga.

[Ke mana aja?] tanyanya melengking, membuatku refleks menjauhkan ponselku dari telinga. Aku masih diam ketika suara Nadin kembali terdengar. [Kenapa lama banget ke kamar mandinya?]

Aku mengembuskan napas berat, bangkit, lalu menekan tuas di kloset duduk sampai air dalam tangkinya terdengar, terkuras. [Lo beneran nggak pingsan, kan?] tanyanya lagi, masih dengan nada yang sama. Melengking.

Aku menggeleng, menjawab, "Enggak, Nad."

[Bagus, deh. Kalo gitu lo langsung aja ke ruang guru, udah ditunggu Bu Jum di sana, katanya.]

Mataku terpejam seketika, baru sadar kalau pelajaran bu Jum sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Mungkin aku terlalu fokus membaca cerita Mika tadi, makanya sampai tidak sadar kalau aku sudah ke kamar mandi terlalu lama.

Sebelum benar-benar beranjak, aku berdiri sejenak di depan cermin dekat wastafel, membasahi wajah berulangkali sebelum menatap tajam gadis di hadapanku. Refleksinya jauh dari bayanganku: kusut, dan terlihat sendu. Kentara sekali kalau gadis di hadapanku itu baru saja kehilangan sesuatu. Sesuatu yang berarti untuknya.

Kubiarkan tetes airnya membasahi sebagian seragam sekolahku, lalu mengusapnya kasar. Nggak. Lo nggak boleh kayak gini. Lo harus kuat, ucapku lebih ke diri sendiri. Baru setelahnya, aku benar-benar beranjak, meninggalkan tempat ini menuju ruang guru, menemui bu Jum sesuai apa yang Nadin bilang.

Koridor tidak terlalu sepi saat aku melintasinya. Bisa kulihat dari luar kondisi kelas-kelas yang sedang tidak ada guru di dalamnya: kacau. Persis seperti kelasku. Adapun langkahku melambat begitu melihat segerombolan murid di tengah lapangan, yang tengah memerhatikan pak Tedy mempraktekkan cara memukul bola bisbol dengan benar. Seketika bayangan akan Mika kembali melintas, dan bisa kurasakan atmosfir di sekelilingku berubah menjadi lebih spia. Kulihat Mika tengah berdiri di depan teman-temannya, tanpa tahu kalau cowok bernama Hasbi itu diam-diam menghampirinya. Kejadiannya begitu cepat. Pun Mika terkejut saat sadar bahwa celana trainingnya sudah turun setinggi lutut.

Sekelebat ingatan muncul di benakku. Aku ingat kejadian memalukan itu, saat aku dan Ratih hendak pergi ke ruang guru. Bedanya, saat itu aku dan Ratih tidak tahu kalau cowok itu adalah Mika. Kami bertemu saat kenaikan kelas sebelas. Mika dan aku satu kelas di kelas 11 IPS 2. Ratih tertawa keras saat melihat kejadian itu, begitu juga denganku.

Sumpah. Andai tahu cowok itu Mika, aku pasti tidak akan tertawa jika melihatnya. Marah, iya.

"Hei!"

Kesadaranku kembali setelah mendengar teriakan itu. Dan, kusadari sekarang pak Tedy sedang memelototiku. "Sedang apa kamu diam di situ? Bolos, ya?" Suaranya cukup keras, sampai-sampai aku bisa mendengarnya dengan jelas. Padahal jarak antara aku dan pak Tedy terpaut lumayan jauh.

Sadar telah melakukan hal yang tidak wajar, aku segera pergi tanpa ada niatan menjawab pertanyaan pak Tedy. Bisa kudengar pak Tedy menjadikanku bahan bercandaan di tengah lapangan, membuat tawa anak-anak yang mengerumun di sana pecah. Aku tidak peduli, dan terus melangkah ke ruang guru.

Sesuai prediksiku, bu Jum marah-marah saat aku duduk di hadapannya. Meski sudah kujelaskan alasannya, tetap saja, ada sedikit rasa tidak percaya dalam kalimatnya. "Ya sudah, sekarang kamu kembali ke kelas. Jangan lupa kerjakan tugas yang tadi Ibu tulis di papan. Kalau tidak mengerti, coba minta penjelasan sama teman kamu."

Aku mengangguk, alih-alih bangkit, tubuhku seolah tertanam di kursi yang sedang kududuki begitu mendengar ada yang menyebut nama Mika dari belakang.

"Iya, Pak. Kasihan, ya. Kata Ibunya tadi, Mika ditemukan gantung diri di balkon kamarnya." Bu Ika, guru ekonomi, bergidik setelah bercerita kepada pak Maslik.

"Gantung diri, Bu?" Pak Maslik tampak tidak percaya. "Apa ya, yang ada dalam kepala anak itu? Kenapa bisa kepikiran buat mengakhiri hidup?"

"Sandra?" Suara bu Jum menyadarkanku, pun kembali aku menoleh.

"Iya?"

"Kamu, kok, masih di sini?" Mata beliau sudah berkilat, marah. "Mau saya tambah tugas kamu?" ancamnya, membuatku berhasil bangkit lantas ke luar ruang guru dengan perasaan tidak menentu. Pasalnya, perkataan bu Ika tadi masih terngiang-ngiang di benakku.

Kepalaku menggeleng pelan, sekelebat bayangan bagaimana Mika ditemukan tergambar. Meski hanya perkiraan representasi dari otakku, tetap saja, menemukan tubuh seseorang tergantung di balkon lantai dua akan membuat siapapun syok bukan main. Termasuk aku, jika hal itu terjadi.

Lihat selengkapnya