Sudah lama aku ingin menjadi penulis. Namun, setelah terjadi peristiwa-peristiwa yang kuceritakan nanti, aku belajar teknik geologi dan menjadi kontraktor bangunan. Meski begitu, pembaca mestinya tidak menyimpulkan dari caraku menceritakan kisah itu bahwa semuanya sudah selesai, bahwa aku sudah meninggalkan semuanya. Semakin mengingat, semakin dalam aku terjatuh ke dalamnya. Mungkin Anda juga akan ikut-ikutan tergoda teka-teki dari para ayah dan putra-putranya.
Pada 1984 kami tinggal di apartemen kecil, jauh di wilayah Beşiktaş, dekat Istana Ihlamur dari Dinasti Utsmaniyah abad ke-19. Ayahku punya apotek bernama Hayat, yang berarti ‘hidup’. Seminggu sekali, apotek itu buka sepanjang malam, dan ayahku mengambil gilir kerja larut malam. Pada malam-malam lain, aku selalu membawakan makanan untuknya. Aku suka berlama-lama di sana, mencium bau obat-obatan, sementara ayahku, pria bertubuh tinggi, langsing, dan bagus, menyantap makan malam di dekat meja kasir. Hampir tiga puluh tahun telah berlalu, tetapi bahkan pada usia 45 tahun aku masih suka bau obat-obatan lama yang berjajar dengan laci-laci dan lemari-lemari kayu.
Apotek Hayat tidak terlalu sibuk. Ayah biasanya mengisi waktu dengan menonton televisi portabel kecil yang sangat populer masa itu. Terkadang teman-temannya yang berpaham kekiri-kirian mampir, dan saat aku datang, mereka berbicara dengan suara pelan. Mereka selalu mengubah bahan pembicaraan begitu melihat kedatanganku, mengatakan aku sama tampan dan menariknya dengan ayahku, menanyakan aku kelas berapa, apakah aku suka sekolah, aku ingin jadi apa kalau sudah besar nanti.
Ayah jelas tampak tidak nyaman ketika aku bertemu dengan teman-teman politiknya. Jadi, aku tidak pernah tinggal berlama-lama saat mereka datang. Begitu ada kesempatan, aku akan membawa kotak makan malamnya yang sudah kosong, lalu berjalan kembali ke rumah di bawah naungan pohon-pohon sikamor dan lampu-lampu jalan yang pucat. Aku sudah tahu bahwa aku tidak boleh bercerita kepada Ibu tentang pertemuanku dengan teman-teman kiri Ayah di apotek. Itu hanya akan membuat Ibu marah kepada mereka dan khawatir Ayah terlibat dalam kesulitan, lalu menghilang sekali lagi.
Akan tetapi, pertengkaran orang tuaku tidak semuanya berkaitan dengan politik. Terkadang mereka tidak berbicara satu sama lain cukup lama. Mungkin mereka tidak saling mencintai. Aku curiga Ayah tertarik kepada wanita-wanita lain, dan banyak wanita lain yang tertarik kepadanya. Terkadang Ibu menyindir terang-terangan tentang adanya wanita simpanan sehingga bahkan aku pun mengerti. Pertengkaran orang tuaku begitu mengganggu sehingga aku memaksa diri tidak mengingat atau memikirkannya.
Waktu itu malam musim gugur yang biasa ketika aku kali terakhir membawakan makan malam Ayah ke apotek. Aku baru mulai masuk SMA. Dia sedang menonton berita di TV. Sementara dia makan di konter, aku melayani seorang pembeli yang membutuhkan aspirin, juga satu orang lainnya yang membeli tablet vitamin C dan antibiotik. Aku menaruh uangnya di mesin kas model lama, lacinya menutup dengan bunyi klinting yang enak didengar. Setelah Ayah makan, dalam perjalanan keluar, aku memandang kembali Ayah untuk kali terakhir; dia tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku, berdiri di depan pintu.