Ketika terbangun, aku sendirian di dalam tenda. Seekor lebah berdengung. Aku bangkit dan melangkah keluar. Matahari telah begitu tinggi sehingga cahayanya menyakitkan mataku.
Aku berdiri di tengah dataran yang sangat luas. Di sebelah kiriku, ke arah tenggara, tanah menghampar menuruni bukit menuju Istanbul. Ada ladang-ladang jagung di kejauhan, hijau muda dan kuning pucat. Ada ladang-ladang gandum, tetapi juga tanah tandus, berbatu-batu dan kering. Aku bisa melihat sebuah kota di dekat situ dengan rumah-rumah dan sebuah masjid, tetapi ada bukit yang menghalangi pandangan, jadi aku tidak yakin seberapa besar permukiman itu.
Di manakah Tuan Mahmut? Angin membawa suara panggilan trompet, dan aku menyadari bahwa bangunan-bangunan kelabu di belakang kota itu pasti garnisun militer. Di luar itu, jauh di sana, ada barisan gunung berwarna ungu. Untuk sesaat, seluruh dunia tampaknya menyerap kenangan yang senyap. Aku senang berada di sini, siap mencari penghasilan sendiri, jauh dari Istanbul, dari siapa saja.
Kereta api melengking menembus hamparan tanah luas antara kota ini dan garnisun. Tampaknya kereta itu menuju Eropa, dan merayap ke arah bagian kosong dataran kami sebelum pergi dan berhenti di stasiun.