Rianti tak tahu mengapa dia bisa jatuh cinta kepada Dipta, sampai turun tangan membantunya. Entahlah. Namun, anak itu memang unik dan menarik. Setelah sepekan menjalani konseling, Rianti melihat bahwa ternyata masalah Dipta tidaklah sederhana. Tingkat kenakalannya sudah mencapai ambang batas. Semuanya tidak tampak di sekolah. Selain merokok dan mabuk, Dipta juga suka ikut menjadi joki balapan liar dan mulai mencoba obat terlarang, bahkan bergabung dalam sebuah geng yang sering tawuran.
Rianti mengelus dada mendengar anak itu bercerita. Dia berusaha menutupi rasa kecewanya terhadap Dipta. Bahkan perempuan dengan tahi lalat di alis itu menahan ngilu saat Dipta bercerita tentang kecelakaan yang dialaminya ketika menjadi joki balapan liar.
“Aku nabrak truk parkir, Bu. Kata temanku aku kejang-kejang sebentar sebelum bangun lagi,” kata Dipta. Rianti mendelik.
“Kamu gak pingsan?”
“Gak tahu, mungkin sempat pingsan. Tapi aku dibawa pulang ke rumah.”
“Kenapa gak ke rumah sakit?”
“Ibuku orang kesehatan, jadi aku dirawat di rumah. Orang tuaku khawatir akan timbul masalah jika aku dibawa ke rumah sakit, karena ayahku seorang perwira TNI. Aku gak masuk seminggu. Badanku lemas dan sakit semua. Ini bekasnya.” Remaja 15 tahun itu menunjukkan kaki dan tangan, serta dadanya yang terdapat bekas luka. Rianti bergidik ngeri melihat badan Dipta.
“Sekarang kamu masih suka balapan?”
“Suka lah, balapan itu asyik, Bu.”
“Dipta, dulu waktu SMP Ibu pernah punya teman seperti kamu. Dia sangat suka balapan, anaknya ganteng. Saat SMP kelas 1 dia kecelakaan dan kakinya harus digips. Kelas 2 dia kecelakaan lagi, kali ini mengalami gegar otak. Dan saat kelas 3 dia menabrak trotoar, langsung meninggal di tempat.”
“Ah, Ibu. Aku gak mau gitu.”
“Ibu juga gak mau kamu mati semuda ini. Kalau kamu mati nanti gak bisa jadi menantunya Ibu, dong.” Bocah itu mendelik. Tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Bu Rianti, Ibu bercanda kan?” Dipta terkejut.
“Kira-kira Ibu bercanda, gak?” Rianti tersenyum, membuat Dipta menciut nyalinya.
“Aduh, Ibu. Adzkia itu anak baik-baik, salihah, meskipun cerewet dan nyebelin. Kenapa Ibu menjodohkan saya yang nakal ini dengan Adzkia yang anak kesayangan Ibu?”
“Apa kamu mau selamanya jadi anak nakal? Apakah tidak ingin berubah?”
“Gak mau, Bu. Aku mau berubah jadi anak baik lagi. Di pondok dulu hafalanku setahun sudah 5 juz.”
“Sekarang?”
“Balik ke juz 30 lagi.” Rianti mengelus dada mendengarnya.
“Dipta.”