Hari itu Dipta tidak datang untuk konseling, Rianti juga tidak melihatnya saat istirahat. Perempuan itu mencoba menghubungi ibunda Dipta untuk menanyakan tentang anak itu. Tidak menjawab, ibunda Dipta mengajak Rianti bertemu untuk membicarakan tentang remaja tanggung itu.
Sepulang kantor, setelah mengantarkan Adzkia pulang ke rumah, Rianti berangkat lagi menuju kafe tempat pertemuan dengan ibunda Dipta. Rianti mengedarkan pandangan di penjuru kafe. Di ujung ruangan, di dekat jendela, dilihatnya perempuan sebayanya sedang termenung.
“Selamat sore, Bu. Maaf, saya harus mengantar Adzkia pulang dulu. Sudah lama menunggu?” Rianti menempati kursi di depan ibunda Dipta.
“Belum, saya juga baru tiba,” jawab perempuan berkerudung cokelat itu. Saat itulah Rianti melihatnya. Wajah perempuan di depannya ini basah oleh air mata.
“Maaf, Bu Rianti harus melihat saya seperti ini,”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya maklum. Ini ada hubungannya dengan Dipta pasti.” Tari, ibunda Dipta, mengangguk.
“Hari ini dia tidak masuk sekolah karena habis bertengkar dengan kami, ayah ibunya.” Perempuan itu menyusut hidungnya.
“Sebenarnya dia sudah siap berangkat. Dia minta bawa motor sendiri. Saya melarangnya, karena aturan sekolah yang melarang siswa SMP membawa motor. Saya tidak ingin anak saya melakukan pelanggaran lagi. Beberapa waktu terakhir ini perilakunya sudah mulai membaik. Saya ingin itu terjaga sampai dia lulus.” Perempuan itu menghela napas sebelum melanjutkan.
“Dia marah-marah karena kami melarangnya membawa motor. Kami lebih marah lagi, dan ketika ayahnya menggeledah tasnya, ternyata dia menyimpan pil di dalam bungkus rokok…” Rianti menutup mulutnya mendengar keterangan ibunda Dipta.
“Ayahnya sangat marah dan langsung menghajar Dipta. Sekarang anak itu di rumah karena tubuhnya lebam dihajar ayahnya.” Perempuan berkulit putih itu terisak lagi lebih keras. Setelah beberapa saat menenangkan diri, dia melanjutkan lagi.
“Saya sudah lelah rasanya, Bu. Anak itu selalu membuat kami stress. Kami sudah berusaha mengikuti apa maunya, kami sudah berusaha percaya padanya, tetapi lagi-lagi dia mengecewakan kami dengan perilakunya.”