Saat Dipta membuka mata, yang pertama kali dilihatnya adalah ibunya yang sedang menangis di samping ranjangnya.
“Ummi ....”
“Alhamdulillah, apa yang kamu rasakan, Nak?”
“Pusing. Ini hari apa?”
“Ahad. Tadi malam jam 11 kamu dibawa kesini dalam kondisi tidak sadar. Kamu membuat Ummi khawatir lagi. Katanya sudah berhenti balapan.” Tari mengusap matanya yang tak henti mengeluarkan air mata. Dipta memejamkan matanya.
“Aku ditawari uang banyak. Aku ingin memberikannya untuk Bu Rianti. Kasihan, Adzkia dan Nania harus tinggal di rumah neneknya karena ayah mereka sakit.” Dipta menjawab dengan terbata-bata. Sang ibu semakin keras tangisnya.
“Bu Rianti gak butuh uangmu, Nak. Kami hanya ingin kamu kembali menjadi anak yang salih dan bertanggung jawab.
“Maafkan aku, Ummi. Aku tidak akan mengulangi lagi. Apa aku bisa ketemu Bu Rianti? Aku ingin minta maaf.”
“Semalam beliau langsung kesini setelah Ummi kasih kabar tentang dirimu, dan cukup lama menunggumu sadar. Sebentar lagi pasti kesini.”
“Pasti Bu Rianti kecewa tahu aku balapan lagi.” Sang ibu menggeleng.
“Tidak. Adzkia sudah menjelaskan bahwa kamu ingin menemuinya kemarin lusa, tetapi dilarang oleh gadis itu. Adzkia juga minta maaf sudah ketus padamu sehingga membuatmu nekat balapan lagi. Dia merasa bersalah bahwa kamu kecelakaan karena dia.” Wajah Dipta memerah mendengar nama Adzkia disebut.
“Dia tidak salah. Aku memang sudah merebut perhatian ibunya. Wajar kalau dia kesal padaku. Dia tidak perlu meminta maaf.”
Saat itu pintu terbuka. Adzkia masuk bersama ibunya. Tidak seperti biasanya yang selalu cerewet dan judes saat bertemu Dipta, Adzkia hanya menunduk di samping sang ibu.
“Bagaimana keadaanmu, Nak? Kenapa bisa begini?”