Dipta memulai pencariannya terhadap Adzkia. Dia sudah tahu letak kantor Adzkia, tetapi tugas-tugasnya sebagai prajurit membuat laki-laki itu belum bisa mendatangi tempat kerja gadis itu.
Keberuntungan datang kepada Dipta saat bulan Ramadan. Konjen Australia mengadakan acara buka bersama dan mengundang instansi-instansi lain. Dipta ditugaskan untuk menemani sang komandan menghadiri undangan tersebut. Mereka memasuki hall besar sebuah hotel berbintang tempat acara berlangsung. Dipta melihat seorang perempuan muda datang sendiri. Dia memakai gamis berpotongan modis berwarna biru denim dan jilbab lebar bunga-bunga biru. Sosok itu mengingatkannya kepada Bu Rianti, hanya jauh lebih muda.
Aura gadis itu tampak tenang, tidak ada kesan cerewet dan judes seperti masa SMP dulu. Kedewasaannya membuat Adzkia tampak cantik dan anggun. Dipta berusaha meredakan debar di dadanya dan memantapkan diri sebelum mendekati perempuan muda itu.
“Assalamualaikum,” ucap Dipta. Perempuan di depannya menoleh dan menatap laki-laki itu, berusaha mengenali.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Mata gadis itu memindai laki-laki yang menyapanya. Seorang laki-laki sebaya dirinya dengan potongan rambut cepak dan berbadan atletis. Wajahnya yang bersih terlihat menawan. Ketika Dipta tersenyum, Adzkia merasakan jantungnya berdegup kencang sekali sampai gadis itu merasa takut jika laki-laki di depannya ini bisa mendengar suara detak jantungnya.
“Maaf, kamu Adzkia, kan?” tanya Dipta ragu. Mendengar namanya disebut, memori Adzkia kembali menjelajah masa-masa yang telah lalu, karena di Surabaya ini dia belum kenal banyak orang.
“Anda siapa?”
“Waduh, masa kamu melupakan cowok paling ganteng di SMP Tunas Bangsa, sih?”
“Dipta?” Senyum laki-laki itu semakin melebar mendengar Adzkia menyebut namanya.