Sebelum berangkat ke kantor, Adzkia menata hati dulu. Sejak hari ini semuanya tak lagi sama. Dipta sudah menemukannya, dan bayang-bayang masa SMP itu tergambar lagi di benaknya. Salah satu sebab Adzkia bekerja di lingkungan ekspatriat adalah karena dia ingin mendapat jodoh orang asing dan dibawa ke luar negeri, agar tidak bertemu lagi dengan Dipta, serta menghindar dari keinginan sang ibu.
Meskipun tidak lagi membenci Dipta, gadis itu masih sulit untuk percaya bahwa kebiasaan buruk Dipta bisa hilang. Menurut sumber yang pernah didengarnya, orang kalau sudah suka minum alkohol dan mengonsumsi narkoba akan sulit sembuh. Meski sudah berhenti, suatu saat bisa kembali lagi jika terpicu oleh sesuatu yang membuatnya stress.
Adzkia takut, jika rumah tangga mereka menemui masalah Dipta akan lari ke kebiasaan buruknya dulu. Karena pernah ada kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat ibunya gusar, disebabkan oleh Dipta.
Saat itu jadwal Dipta les. Anak itu datang terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Adzkia sudah mengatakan kepada sang ibu bahwa anak itu tidak akan bisa datang tepat waktu, tetapi ibunya tetap berbaik sangka kepada Dipta. Benar saja, Dipta datang jam delapan lewat, yang artinya waktu lesnya hanya kurang dari 1 jam.
Adzkia menguping dari kamar, Dipta mengaku kepada ibunya bahwa dia datang terlambat karena mampir untuk pamit keluar dari gengnya. Di sana Dipta dipersulit untuk keluar, karena memang begitulah biasanya sebuah geng. Anak itu diminta membayar sejumlah uang. Karena dia tidak punya uang sebanyak itu maka Dipta minta waktu dua hari untuk memenuhinya. Adzkia tidak mendengar apa yang dikatakan ibunya, yang dia tahu malam itu sang ibu hampir tidak tidur. Ibunda Dipta mengabarkan bahwa sejak pulang dari rumah Rianti sampai jam 2 dini hari itu, Dipta belum tiba di rumah. Adzkia sebal, sampai seperti itu ibunya ikut memikirkan Dipta.
“Karena kalian, anak-anak Ibu, sudah Ibu titipkan kepada Allah dan Ibu percaya kepada kalian.” Begitu jawaban Rianti ketika Adzkia bertanya kenapa sang ibu kelihatan lebih khawatir kepada Dipta dari pada kepadanya dan adik-adiknya. Sampai seperti itu perhatian sang ibu kepada bocah bandel bernama Pradipta Dirgantara itu.
Esoknya di sekolah Dipta datang dengan wajah lesu. Adzkia memperhatikannya dari kejauhan, anak itu kelihatan sekali kalau terpaksa datang ke sekolah. Dia juga tidak menjahili Adzkia hari itu. Dan kata Rianti, Dipta bertengkar lagi dengan ibunya pagi itu. Ibunya tidak percaya lagi kalau dia salat di masjid.
Malamnya Dipta datang ke rumah Adzkia dengan kondisi wajah lebam.
“Kamu kenapa?” tanya Adzkia khawatir. Anak itu hanya menggeleng.
“Ibumu mana?”
“Masih di musala, tunggu saja. Mau minum kopi?” Adzkia merasa kasihan kepada anak itu, tampaknya luka di pelipisnya itu sakit sekali, Dipta sampai meringis beberapa kali.
Rianti terkejut melihat Dipta yang sedang minum kopi di rumahnya.
“Kamu kenapa, Nak?” sebelum menjawab, remaja tanggung itu menoleh ke pintu kamar Adzkia, takut terdengar.
“Kata Ibu aku boleh nangis di sini.” Mata Dipta berkaca-kaca. Rianti mengangguk.
“Silakan, Nak. Kamu boleh menangis sepuasmu.” Mata Dipta berkaca-kaca mendengar jawaban Rianti.