The Red String

Dyna Rukmi Harjanti Soeharto
Chapter #12

Bab 12

Dipta mulai mendekati Adzkia. Dia selalu menawarkan untuk pulang bareng atau menjemput gadis itu berangkat kerja, tetapi belum sekali pun Adzkia menerimanya. Gadis itu masih berusaha menata hati untuk menerima segala yang akan terjadi. Dan sejujurnya dia bingung dengan perasaannya. Dulu memang dia sangat membenci Dipta, tetapi melihatnya mulai berubah kebenciannya perlahan menghilang. Sekarang sepertinya dia suka melihat laki-laki itu ada di dekatnya. Namun, keraguan akan masa lalunya masih saja timbul.

Rupanya Allah membuka jalan untuk Dipta ketika pulang kantor sore itu. Saat laki-laki itu datang ke kantor Adzkia, dia melihat gadis itu sedang menunggu hujan reda di depan kantor. Perempuan itu berulang kali melihat arlojinya, khawatir ketinggalan bus. Mau jalan ke halte, gak bawa payung. Dipta mendekatinya.

“Hai, kamu gak bawa payung?” Adzkia menoleh mendengar suara Dipta.

“Aku lupa bawa. Kemarin setelah memakainya aku letakkan di belakang pintu.”

“Bareng, yuk. Pakai mantelku saja,” ajak perwira muda itu. Adzkia menatapnya ragu.

“Ayo, kalau nunggu hujan reda kamu bisa pulang kemalaman. Kantor sudah sepi, lho ini.” Akhirnya Adzkia menerima tawaran Dipta. Mau menerobos hujan, jarak antara kantor dengan halte bus sekitar 10 menit berjalan kaki, bisa basah kuyup dia nanti. Adzkia naik ke boncengan motor Dipta. Gadis itu gugup, dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki kecuali ayah dan adiknya. Bahkan Adzkia bisa mencium aroma cologne yang menguar dari tubuh laki-laki di depannya itu. Tanpa sadar gadis itu memegang dadanya, berusaha meredakan debar jantungnya yang mendadak tak terkendali.

“Kamu pasti berdebar-debar ketemu aku lagi.” Dipta berusaha mencairkan suasana dengan menggoda Adzkia. Padahal dia sendiri juga sangat takut detak jantungnya terdengar oleh gadis itu.

“Sudah tua juga masih tetep aja narsis,” cibir Adzkia.

“Kalau aku tua, apa kabar dirimu?”

“Umurku kan lebih muda darimu.”

“Hanya beberapa bulan aja, kan.”

“Tetep aja kamu lebih tua.” Mendengar jawaban Adzkia, tiba-tiba Dipta urung melajukan motornya.

“Ada apa?” Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.

“Aku hanya sedang menimbang, sanggup kah aku menjalani hari-hari dengan mendengarmu mendebatku begini setiap saat.”

“Ge-er kamu. Memangnya siapa yang mau hidup bareng kamu.” Adzkia cemberut.

“Para ibu kita, kan.”

Lihat selengkapnya