Menghasilkan dokter spesialis bedah yang mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan teman sejawatnya. Itu adalah salah satu standar kompetensi lulusan PPDS Bedah kampus Kevin yang sudah sejak lama tertanam di otaknya.
Namun, menilik kelakuan sejawat yang menikung lalu menusuk dari belakang, rasanya Kevin tidak bisa bekerjasama dan berkomunikasi dengan sejawat kampret seperti Radit.
Entah sudah apa saja yang Radit sampaikan pada Mita lewat pesan WA. Pikiran picik di otak Kevin membisikkan bahwa Radit meng-update kegiatan Kevin bersama Rasya pada Mita. Walau Kevin juga tidak yakin, karena sama seperti dirinya, seharusnya Radit pun sangat terbatas waktunya untuk mengurus hal tidak penting seperti itu.
Kecuali kalau mendapatkan Mita memang jadi salah satu prioritas Radit. Argh, kenapa urusannya jadi ruwet begini? Semenjak kejadian itu, Kevin jadi lebih intens mencari celah kegiatan untuk mengecek Mita, alih-alih mencegah Radit macam-macam pada kekasihnya.
Walau tidak setiap pesan Mita bisa langsung dibalas, tapi setidaknya dua hari sekali Kevin menyempatkan untuk melakukan panggilan video. Kalau sempat dan kalau ingat. Bah, ternyata Kevin juga kampret.
Kevin baru sadar kalau memikirkan Mita bisa mengurangi beban di otaknya walau sejenak. Setidaknya istirahat dari penat lalu lintas pikiran yang penuh prosedur bedah dengan melihat senyum manis Mita, adalah jalan keluar yang sangat solutif. Yah, walau senyum hidup itu hanya bisa ia nikmati lewat layar ponsel.
Apalagi ketika kemarin mereka berdua tidak berhasil menemui Obgyn di Citra Medika. Menemui dokter spesialis memang tidak semudah itu, Fergusso. Kevin benar-benar tidak yakin akan kebenaran jawaban Mita ketika ia mencoba melakukan anamnesis. Menganamnesis pacar sendiri tentu akan sangat subjektif hasilnya. Jadi Kevin berencana memercayakan tugas itu pada dr. Andra, Dokter Obgyn Citra Medika.
Kevin hampir yakin Mita merasa tidak nyaman diperiksa oleh Dokter Andra. Saat meminta informasi jadwal stand by dokter spesialis obgyn, dan mendapatkan nama dr. Andra di sana, Mita langsung melancarkan protes.
"Kev, lo gila? Gue ogah diperiksa dokter cowok. Malu, Kev! Apalagi bagian sensitif gue nanti dilihat-lihat. Ini tu aset gue, bukan barang branded di supermarket. Lo aja nggak gue kasih apalagi cowok lain."
Kevin hampir terkekeh mendengar analogi kekasihnya. Bukankah kemarin mereka sudah membicarakan tentang profesionalisme seorang dokter? Lalu kenapa ujungnya begini?
"Ini, kan, darurat, Sayang. Di Citra nggak ada Obgyn cewek. Lagian dr. Andra udah punya anak istri, nggak bakal macem-macem sama lo. Istrinya juga dokter, udah paham sama kerjaan masing-masing dan profesionalisme yang harus dijaga."
Kata 'sayang' Kevin pakai dalam rangka merayu Mita, tapi sepertinya kali itu tidak mempan. Walau jauh di lubuk hati Kevin yang paling dalam juga tidak rela kalau gadisnya 'dilihat-lihat' oleh lelaki lain, tapi lebih tidak rela lagi kalau kondisi Mita memburuk lalu terjadi komplikasi.
"Enggak, Kev. Gue nggak mau. Lagian gue nggak kenapa-napa, kok. Udahlah, nggak usah periksa-periksa segala bisa, 'kan?"
Diagnosis utama dan beberapa diagnosis banding sudah Kevin susun di otak. Mulai dari Von Willebrand Disease, Adenomiosis, Endometriosis, Isthmocele, Leiomioma, dan yang paling membuat Kevin memohon ampun pada Sang Pencipta adalah kanker rahim. Amit-amit jabang bayi.
Entah kenapa akhir-akhir ini semesta seperti berkonspirasi untuk menendangnya dari bumi. Mita yang begitu keras kepala berkata baik-baik saja membuat Kevin nyaris stres. Bagaimana bisa pengonsumsi painkiller jenis opioid tiap kali nyeri menstruasi datang bisa baik-baik saja? Mita sama sekali tidak paham dengan hal itu.
Ya Tuhan, Kevin tidak berani membayangkan sudah berapa lama Mita menjalani hari-hari selama menstruasi dengan painkiller dosis tinggi. Pun, dari mana Mita bisa mendapat obat semacam itu, dan siapa orang gila yang merekomendasikan.
Itu belum seberapa. Hasil diagnosis dr. Chandra yang sudah tegak menambah kadar frustrasi Kevin. Glaukoma primer sudut tertutup akut, memang mempunyai gejala yang sangat khas. Kevin sudah tahu itu dari jurnal-jurnal yang ia lahap beberapa waktu belakangan. Rasa sakit yang hebat menjalar ke arah kepala disertai mual muntah. Senada dengan perkataan dr. Chandra tempo hari setelah melakukan pemeriksaan lanjut pada Kevin.
"Visus menurun. Hasil oftamolskopi 0,6 sudah lebih dari yang seharusnya 0,3. Kenapa? Karena sesuai Teori Hukum Pascal, tekanan intraokuler yang cukup tinggi akan diteruskan sama besarnya ke segala arah, termasuk ke saraf belakang mata. Kalau saraf terus menerus tertekan, lama-lama akan mengalami kerusakan. Saya sudah sampaikan sebelumnya kalau kerusakan saraf mata akibat Glaukoma ini bersifat permanen. Jadi satu-satunya jalan adalah menjaga tekanan bola mata ada di angka normal."
Pertemuan kedua dengan dokter spesialis mata yang amat sangat kebetulan, karena praktik di klinik milik dr. Chandra ini memang setiap Senin. Di luar itu, jadwal terbagi di beberapa rumah sakit swasta dan klinik lain.
Namun sayangnya, fakta lain juga mengikuti. Dokter Chandra tidak bisa dilarang untuk mencari tahu tentang Kevin a.k.a pasiennya. Otomatis posisi Kevin sebagai anak dari dr. Dewangga, pemilik Citra Medika, yang juga sedang mengabdi di RSP Bandung sebagai residen bedah sudah jelas terbaca.