Setelah menyelesaikan segala tanggungan di Poli serta menyimpan beberapa tugas ilmiah, Kevin segera membersihkan diri di messko. Belum juga sempat istirahat barang sejenak, lelaki ini dikejutkan dengan kedatangan perawat dari Departemen Psikiatri yang bermaksud menjemputnya.
Perawat mungil berbando putih dengan potongan rambut seperti Violet Parr di film The Incredibles mengangguk sopan sembari tersenyum manis, "Maaf, Dok, saya diutus Dokter Adri untuk menjemput Dokter Kevin."
Kevin tidak heran dengan gestur serta ekspresi si perawat. Sudah biasa karena perasaan GTGG-nya tumbuh subur seiring interaksi dengan berbagai kalangan di rumah sakit, terutama perawat-perawat muda dan koas unyu-unyu. Warga rumah sakit yang sangat potensial untuk kemretek hatinya kalau tahu Kevin akan taken secara de jure sebentar lagi.
Tugas tambahan dari Departemen Psikiatri memang telah ia sepakati sebelumnya. Tugas yang berkenaan dengan sisi humanisme seorang dokter. Gadis sembilan belas tahun yang tempo hari menarik kerah snelli Kevin sambil marah-marah membabi buta memerlukannya untuk proses pemulihan jiwa.
Kevin yang sedang membalas pesan Dokter Adri balas mengangguk, "Iya, Sus. Dokter Adri sudah hubungi saya." Senyum tipis sengaja ia hadiahkan pada si perawat karena mau repot-repot menjemputnya di messko. Semoga saja tidak menimbulkan masalah setelahnya. Cukup Rasya yang ia 'selamatkan' saat hari pertama di stase bedah, kemudian berujung lepas kendali akan rasa.
Perawat mungil itu mengarahkan Kevin ke taman RSP, tempat si gadis sedang menunggu. Dan meminta maaf atas suatu kesalahan yang disadari menjadi alasan dua manusia dengan gap usia hampir sepuluh tahun itu duduk bersama di taman RSP.
Sementara langit sore yang seharusnya jingga, tertutup mendung seperti diri Kevin yang di hari sebelumnya melakukan tugas menyampaikan berita kematian pasien, untuk yang ke sekian kalinya.
Setiap kali kehilangan pasien, kepercayaan diri Kevin sebagai calon ahli bedah seakan ikut redup. Lalu setelah itu otak Kevin mulai berpikir ratusan kali, apakah sebenarnya ia memang tidak layak menjalani profesi ini?
Apakah sebenarnya karier sebagai ahli bedah ini bukan jodohnya? Ditambah lagi dengan Glaukoma yang telah resmi disandangnya, seakan Tuhan sudah memberi jawaban atas pertanyaan Kevin dengan berkata 'Hey, ini bukan tempatmu!'.
"Feel better, Mutiara?"
Ini bukan pertama kalinya mereka bicara. Menjadi wajar ketika Kevin memprediksi bahwa kondisi gadis ini tentu sudah lebih baik dari terakhir bertemu. Suara bariton Kevin mengejutkan si gadis berlesung pipi yang tadinya tunduk menyembunyikan lesi.
Mutiara mengangkat wajah lalu mencetak dua cekungan di pipi dengan tersenyum. Rona pucat masih tersemat di wajah orientalnya. Getar suara gadis ini meski lirih bisa Kevin deteksi nada takut dan keraguan di sana.
"Iya, Dok."
"Dokter Adri bilang, kamu mau ketemu saya?"
Mutiara menggigit bibir. Lesung pipinya perlahan hilang seiring dengan tarikan di bibir yang kian mengendur.
"Muti..., Muti mau minta maaf, Dok, waktu itu Muti maki-maki Dokter."
Kevin bisa melihat gadis ini kesulitan memproduksi kata. Mendung yang cenderung membawa angin dingin menerpa suasana di sekitar taman tidak bisa mencegah bulir keringat Mutiara menderas. Wajah gadis ini kembali tunduk, tidak berani menatap mata lawan bicara.
"It's ok. Saya mengerti. Kamu sedang kehilangan waktu itu, sama seperti saya."
Dan Kevin pun mulai menjalankan tugasnya. Kehilangan seseorang yang disayangi pasti terasa menyesakkan. Apalagi orang itu dijamin tidak bisa kembali sama sekali. Kevin pernah merasakan kehilangan sosok Mita bertahun-tahun lalu. Bahkan kemungkinan Mita kembali padanya sebagai kekasih, satu persenpun tidak ada.
Fase penolakan, kemarahan, dan tawar-menawar sudah dilewati. Mita memaafkan kesalahan Kevin, walau tidak serta merta bisa menerimanya kembali. Fase depresi pun Kevin alami. Clubbing saat libur, sampai mencicipi Vodca pun Kevin lakukan untuk menuju fase penerimaan akan kehilangan.
Senada yang sedang dialami Mutiara, kehilangan sosok ayah membuat gadis ini jatuh ke fase depresi. Peran Kevin diharap bisa membawa gadis berlesung pipi ini ke fase menerima. Mutiara beruntung karena depresinya terdeteksi lebih awal, sehingga konsultasi dengan Dokter Adri terpilih menjadi satu solusi.
"Dokter kehilangan juga?"
Mutia mengangkat wajah, tampak takjub sekaligus penasaran dengan kalimat terakhir yang didengarnya. Kevin menghela napas panjang, menumpukan siku ke kedua lutut, memotong jarak dengan Mutiara yang saat ini sedang duduk di hadapannya berjarak setengah depa.
"Kamu kehilangan Papa kamu dan saya kehilangan pasien saya. Jangan berpikir kalau itu tidak mengganggu hidup saya. Pasien meninggal setelah treatment yang melibatkan saya di dalamnya, bukan hal yang mudah diterima."
"Gitu, ya, Dok?"
"Ya. Itulah alasan saya ngobrol di sini sama kamu sekarang. Tetap berhubungan baik dengan keluarga pasien adalah cara saya untuk healing diri saya sendiri. Mengetahui bagaimana keluarga pasien tetap survive sepeninggalnya, itu membuat saya lebih bisa menerima sesuatu yang saya anggap sebagai kesalahan saya."
Ada dua sisi yang tak dapat dihindari saat Kevin memiliki hubungan dengan keluarga pasien. Satu sisi sebagai pendukung proses healing, dan sisi lain justru membuat lebih menyakitkan. Bagaimanapun, kedekatan seseorang dengan orang lain pasti akan berkonsekuensi berat jika ujungnya akan kehilangan. Walau siapapun tahu bahwa hal itu mutlak, tidak ada manusia kekal hidup di dunia ini.
"Maaf, Dok. Muti harap kejadian kemarin nggak bikin Dokter insecure seperti Muti. Muti benar-benar minta maaf, mungkin sikap Muti kemarin bikin Dokter ngerasa gagal."
Bahu Mutiara melemas seiring dengan ekspresi sedih yang muncul di wajahnya. Kevin bisa merasakan sesal yang dalam di lirih suara gadis ini. Tubuh kurus bak tulang berbalut kulit itu terlihat sangat rapuh.
Kevin hampir yakin pasien dr. Adri ini punya masalah lain sebelum kematian ayahnya. Namun, ini bukan waktunya untuk bertanya lebih jauh. Sudah ada sejawatnya di Psikiatri yang meng-cover tugas itu.
"It's ok. Saya baik-baik saja. Justru saya yang minta maaf karena mungkin terkesan tidak ada empati atas meninggalnya Papa kamu. I've done my best, you know."
Kevin selalu berusaha menjadi seseorang dengan versi terbaik, menurutnya, sebelum masuk kamar bedah. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa profesinya ini menuntut untuk segera bangkit dari keterpurukan setelah menghadapi kematian pasien.