The Resident

Natha Al Zahidi
Chapter #13

13. An Advice

Sepuluh menit berjalan membuat Mita terengah lelah. Beruntung keduanya telah sampai di tempat tujuan. Sebuah kantin cukup luas dengan dominan warna putih, bersih, dan tidak terlalu ramai karena mahasiswanya kebanyakan nongkrong di perpustakaan atau Lab.

Mita mengambil tempat duduk di dekat jendela besar tanpa kusen. Terpapar sinar matahari pukul sembilan di negara tropis dari auditorium ke tempat kuliah Kevin cukup membuat keringatnya bercucuran.

Kantin ini memang didesain semi terbuka untuk meminimalkan penggunaan pendingin ruangan a.k.a AC atau kipas angin. Di institusi pendidikan memang tidak asing untuk menerapkan wawasan wiyata mandala, termasuk memanfaatkan alam untuk kenyamanan penghuni menggunakan fasilitas di dalamnya

"Ya udah, ntar gue usahain. Kalau kepepet, pakai taman RSP aja nggak papa, 'kan?" Kevin terkekeh, membayangkan betapa mirisnya kalau sampai foto pre-wed masih harus berbau rumah sakit. "Mama minta cepet? Kalau nggak, tunggu sampai morbid gue kelar, dua minggu lagi."

Menyeka lehernya dengan tisu yang diambil dari meja, Mita memutar bola mata, "Ya kali foto pre-wed di rumah sakit. Lo coba nego sama Tante Yulia sendiri, deh."

Kevin kembali terkekeh kemudian berlalu memesan makanan untuk mereka berdua. Tak berapa lama, Kevin kembali ke meja membawa nampan berisi dua piring nasi pecel rempeyek kacang dan dua gelas air jeruk hangat.

Sebelum memesan makanan Kevin tak perlu repot bertanya Mita ingin makan apa, karena menurutnya itu membuang waktu. Mita juga bukan tipe perempuan yang rewel dan pilih-pilih makanan. Kebiasaan gadis ini meninjau proyek, berinteraksi dengan banyak pekerja lapangan yang akrab dengan kehidupan keras dan apa adanya, menjadi sebuah penguatan tersendiri.

Gadis manis berkulit putih ini sudah terbiasa dengan berbagai kondisi tempat. Hotel mewah full AC, full fasilitas, dengan makanan super enak dan mahal tidak masalah. Area tambang yang panas, dengan toilet seadanya, pergaulan dengan kebanyakan partner kerja lelaki, pun tidak jadi soal. Kuat dan mandiri, dua kata yang bisa Kevin gunakan untuk mendeskripsikan kekasih mungilnya.

Mita melepas tas punggungnya lalu mengambil hand sanitizer dari sana. Hidup dengan dokter spesialis bedah jantung-dr. Hans-Ayahnya, dan berpacaran dengan calon ahli bedah umum membuat gadis ini kenyang kuliah subuh dengan tema pentingnya kebersihan tangan sebelum beraktivitas, terutama makan.

"Eh, trus gimana lo udah ke dr. Chandra lagi abis kemaren itu, Kev?" tanya Mita sambil melumuri tangannya dengan hand sanitizer.

Suapan Kevin berhenti sejenak saat sendok sudah hampir masuk ke mulutnya lalu menggeleng, "Belum bisa, Mit. Nggak bisa, serius, lagi padet banget gue."

Lagian, kapan gue nggak padet? Interupsi Kevin yang cukup digaungkan dalam batin.

Konsultasi terakhir dengan dr. Chandra membuat Kevin lebih santai menghadapi penyakitnya. Walau migrain hampir setiap hari menyerang tapi intensitas rendahnya tidak terlalu mengganggu. Entahlah, mungkin tubuh Kevin sudah mulai beradaptasi dengan sakit kepala itu. Toleransi pada keluhan akibat Glaukoma Kevin meninggi seiring makin lama penyakit itu menggerogoti saraf matanya.

Mita mungkin sudah hampir stres karena memikirkan penyakit Kevin, gemas karena kekasihnya ini seperti tak peduli. Mita tidak sadar kalau dirinya sendiri juga sedang melakukan hal yang sama. Kevin bahkan lupa tentang painkiller dosis tinggi yang sering Mita konsumsi.

"Kev, please, lo nggak bisa, ya, pentingin kesehatan lo dulu?"

"Gue pengin, Mit, tapi nggak bisa. Lo ngerti, 'kan, sepenting apa pendidikan gue? Lagian sementara gue masih bisa cover pakai obat, kok." Melihat Mita yang tidak segera menyentuh makanannya membuat Kevin mengusap-usap lengan Mita dengan tatapan menyesal. "Don't too much worry, okey?"

"Lo bisa ambil cuti, Kev. Gue baca buku panduan residen lo kemaren, setahun maksimal dua belas hari, 'kan? Paling nggak sampai penyakit lo kekontrol."

Menggeleng lemah, Kevin mengusap mulutnya dengan tisu. "Not as simple as that, Mit. Gue mesti nyesuaiin sama stase dulu. Ini gue udah tiga perempat stase digestif, bisa gila kalau gue ngulang stase karena ambil cuti nggak pas. Digestif itu stase mayor di spesialis, Sayang." Kevin menarik napas panjang, kemudian napas itu terembus seiring kerjapan mata, Kevin merasa fokus matanya melemah.

"Lagian, ambil cuti itu harus ada alasan kuat, sedangkan gue nggak yakin kalau gue bakal diizinin balik ketika mereka tahu kondisi gue." Lagi. Kevin menepuk-nepuk lembut lengan Mita sambil melempar tatapan memohon, "Lo ngerti, ya, please," bisiknya kemudian.

Mita menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, "Kev...."

Kali ini Kevin mampu menatap iris cokelat cerah Mita yang sering membuatnya terhipnotis untuk menuruti kemauan gadis itu, "Ya, Sayang."

"Ck, lo itu nggak usah ngerayu. Gue lagi mode serius."

"Oke, gue dengerin."

Kevin tersenyum pasrah, menopang pipi kanannya dengan genggaman tangan. Bisa duduk berdua dengan durasi lama bersama Mita adalah kejutan terindah yang diberikan Tuhan hari ini. Kevin tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka dengan mendebat apapun yang dikatakan kekasihnya. Setidaknya itu niat Kevin sampai Mita mulai membandingkan antara...,

"Lo cari celah, dong. Nggak mungkin kalau nggak ada. Please, deh, Kev, kenapa sih lo tu lebih sayang sama pendidikan lo daripada diri lo sendiri? Bisa nggak, nggak gitu? Atau gini, deh, lo sayang nggak sama gue?"

Kevin berdecak sembari menggeleng protes, "No, no, no. Lo nggak boleh compare diri lo sama pendidikan gue. Itu nggak apple to apple. Gue sayang, cinta sama lo itu udah nggak perlu lo raguin lagi. Gue udah berkali-kali bilang, gue nggak bisa kalau nggak ada lo di hidup gue. Satu-satunya hal yang bisa bikin gue hancur, which is, impact-nya ke pendidikan gue adalah kalau lo berani pergi dari gue. Dari situ lo tahu sepenting apa lo dan pendidikan gue. That's it."

Mita mendengkus, "Ya udah lah, terserah lo."

Menyerah, gadis ini akhirnya memilih bercengkerama dengan sendok garpu, mengisi perut dengan makanan favorit Kevin. Kevin yang sudah menyelesaikan makanannya kemudian beranjak untuk mencuci tangan.

Selama belum ada panggilan dari dr. Arsen atau mungkin Rasya, Kevin masih aman dari privilege-dalam-tanda-kutip. Kapan lagi ia bisa keluar dari rumah sakit, mengisi otaknya dengan hal selain prosedur operasi dan kumpulan gejala yang mendukung atau mendebat sebuah diagnosa.

Mita sudah hampir separuh mengurangi nasi pecelnya ketika Kevin kembali duduk di hadapan. Meneruskan aktivitas menopang pipi dengan genggaman tangan kanan membuat Kevin leluasa menikmati sosok sang kekasih. Walau suasana hening karena Kevin bersikeras untuk bertahan tidak mengontrolkan Glaukomanya. Lelaki ini tahu persis, Mita pasti marah, tapi Kevin tidak punya pilihan lain.

Lihat selengkapnya