The Resident

Natha Al Zahidi
Chapter #1

1. First Impressions

"Peralatan...."

"Clear!"

"Anestesi...."

"Clear!"

"Koas...."

"Clear!"

"Residen...."

"Clear!"

Suara dr. Arsen terdengar tegas dan berwibawa, melibas suara monitor yang bisa jadi mengerikan di ruang OK. Bukan hanya suara, nyatanya dokter spesialis bedah jantung berusia lima puluhan ini performanya memang begitu memukau. Tidak hanya di ruang bedah, saat bed side teaching, pembahasan ronde besar, MR, bahkan rekreasi pun serupa.

Segera setelah dr. Aning—spesialis anestesi—memberikan induksi Ketamin dan Vekuronium intravena kepada pasien, suara dr. Arsen kembali mengudara.

"ETT nomor 5,5 kedalaman 16 cm, ada yang mau mencoba?"

Tatapan mata tajam sekaligus teduh milik dr. Arsen menyapu wajah-wajah sosok manusia yang berdiri mengelilingi pasien. Dua residen bedah, Kevin dan Radit saling pandang. Dua koas, Rasya dan Monika susah payah menelan ludah, wajah pias keduanya melirik dua calon spesialis bedah dan perawat bedah yang berekspresi lebih santai.

Baru saja Kevin meneguhkan niat untuk maju ke posisi anestesi, dr. Aning dengan sigap sudah memasang pipa endotrakeal ke mulut pasien. Kevin bisa melihat ulasan senyum dari gerakan tipis di sudut mata dr. Aning walau separuh wajah dokter wanita ini tertutup masker.

Tentu saja dr. Aning tersenyum. Kevin tahu betul kalau dr. Arsen hanya berbasa-basi. Bergaul dengan konsulen bedah satu ini dari mulai suju membuat Kevin hafal kebiasaan luar dalam. Namun entah kenapa Kevin tetap terjebak. Lagipula, untuk apa ada spesialis anestesi di sini kalau intubasi dilakukan kroco macam Kevin dan sejawatnya?

Dan lagi, kalau salah satu tim bedah harus pasang pipa endotrakeal, tentu harus keluar dari kondisi steril. Kurang efektif kalau harus mengulang-ulang sterilisasi.

Wait, suju? Maksud Kevin adalah super junior. Menilik namanya, sudah pasti cewek-cewek bucin pecinta Korea akan histeris. Padahal ini tidak sepenuhnya benar, karena super junior ini adalah julukan untuk Kevin dan sejawat saat masih menjalani tahun pertama PPDS atau residensi.

Kevin yakin, hampir seluruh warga rumah sakit tahu kalau suju adalah partner setia koju (koas junior). Pekerjaan Kevin waktu itu selain hal-hal yang tidak penting, juga ada hal yang sangat tidak penting. Remeh temeh singkatnya.

Sekadar contoh dari pengalaman Kevin, residen tahun pertama yang posisinya satu tingkat di atas koju. Kevin mendapat bagian pekerjaan memutar-mutar wireless mikrofon dan menyiapkan flipchart untuk presentasi ilmiah, laporan kasus, bahkan morning report. Sungguh mengenaskan.

Fokus, Kev! Lo lagi jadi asisten konsulen kesayangan! Suara di kepala Kevin membuat lelaki ini mengerjap.

"Bisa kita mulai?"

dr. Arsen melirik dr. Aning, meminta persetujuan sembari menunggu sampai pasien benar-benar siap dibedah. dr. Aning mengangguk lalu wajah-wajah siap tempur di ruang bedah nomor tiga ini pun menunduk sejenak demi melangitkan doa. Doa untuk kelancaran operasi yang etiologinya tidak diketahui pasti.

"Scalpel, please."

Kevin yang bertindak sebagai asisten satu operasi Tetralogi of Fallot pada pasien anak berusia sembilan tahun ini sedikit terlonjak ketika mendengar suara dr. Arsen untuk ke sekian kalinya. Walau ini bukan pengalaman pertamanya menjadi asisten dr. Arsen, tapi, kasus TOF yang cukup jarang terjadi membuat Kevin was-was juga.

Apalagi hari ini tadi ia sudah melalui lima jadwal operasi sejak pagi. Seingat Kevin, TOF terakhir sebelum ini ia jalani beberapa bulan yang lalu pada pasien neonatus (bayi baru lahir).

Dengan cekatan dr. Arsen membuka satu per satu lapisan kulit pasien. Dua koas khusyuk memperhatikan, dan dua residen membantu tugas dr. Arsen. Satu perawat bertugas mem-back up tugas masing-masing dokter serta menyiapkan alat yang diminta pimpinan operasi.

"Hold."

"Suction."

"Cut."

Tatapan tajam dr. Arsen sesekali melirik monitor anestesi yang menunjukkan angka-angka tanda vital pasien. Sejauh ini masih stabil. Beberapa kali pula perawat mengusap keringat di dahi dokter berkacamata ini setelah ada kode sebelumnya.

Dua jam berlalu, dan akhirnya operasi hampir selesai. Tiba-tiba lirikan maut dr. Arsen menghujam sosok cantik beriris hitam legam yang dari tadi berdiri kaku di seberang Kevin.

"Ras, hecting?"

Kevin berani bertaruh kalau ia melihat bulir-bulir keringat seakan membuat wajah si koas autobanjir. Kesempatan belajar di depan mata, pikir Kevin. Kapan lagi koas-koas beruntung ini bisa menjahit kulit pasien pascaoperasi TOF?

Kevin sempat terheran-heran, dari mana dr. Arsen mengenal nama Rasya, karena sepengetahuannya, hari ini adalah hari pertama mereka masuk stase bedah. Mungkinkah dr. Arsen masih mengingat perkenalan singkat saat briefing di ruang SMF tadi pagi?

Konsen, Kev!

Surgeon not 2-1-1 oleh Rasya baru sampai jahitan kelima ketika Kevin melihat tangan gadis itu mendadak tremor. Semua mata yang sedang fokus ke sana jadi makin tajam menatap ekspresi dan tangan Rasya bergantian. Kepanikan tergambar jelas di kerut alis dan mata yang menyipit. Belum lagi sengalan napas yang terdengar, mengindikasikan sesak karena takut gagal.

Lihat selengkapnya