Kevin tersentak, membuka mata dengan denyutan di pelipis ketika merasa ada yang menepuk bahunya. Lelaki ber-snelli ini menemukan dirinya tengah duduk bersedekap di messko rumah sakit.
Tampaknya Kevin tak sengaja tertidur di sini tadi, di tempat yang sudah seperti rumah kedua baginya, sebuah ruang yang disediakan untuk melepas penat para koas dan residen rumah sakit pendidikan tempatnya mengabdi.
"Udah ditunggu dr. Arsen."
Rupanya Radit yang baru saja membangunkan Kevin. Kawan Kevin sesama residen bedah tahun kedua ini kemudian memakai snelli-nya dan bergegas keluar messko.
Rasa berat di kelopak mata membuat Kevin membuka jas putih kebanggaannya lalu membasuh wajah di wastafel. Setelah merasa lebih segar, Kevin mengambil snelli yang tersampir di kursi sambil mematut diri di depan cermin kecil.
Kalau dulu ia sering sekali berganti warna rambut dengan gradasi biru atau ungu, kali ini tidak. Kevin yang sudah tertempa hampir dua tahun dalam dunia residen berubah menjadi sosok rendah hati jika menghadapi orang lain, konsulen khususnya. Direpresentasikan dengan penampilan yang menurutnya tidak neko-neko seperti dulu.
Attitude memang merupakan poin penting bagi residen semester awal, karena setiap langkah mereka seakan disorot oleh mikroskop. Cara berbicara, sikap, pemikiran, serta ketaatan adalah hal paling utama diperhatikan. Namun, meski begitu, residen di hadapan junior tentu harus tetap memiliki wibawa.
Aktivitas Kevin memakai snelli terhenti sejenak saat dua orang koas wanita masuk ke messko. Dua koas yang sama dengan yang mengikuti operasi ToF tempo hari.
"Pagi, Dok." Rasya dan Monik tersenyum, bersamaan mengangguk menyapa Kevin. Keduanya lalu menempatkan diri di seberang Kevin, berjarak selebar meja besar di tengah ruangan.
"Pagi," jawab Kevin kalem.
Kalau Kevin yang dulu mungkin akan menjawab sapaan wanita cantik seperti ini dengan kalimat terbuka dan ekspresi menggoda. Namun berbeda dengan Kevin sekarang, yang cenderung menghindari interaksi dengan wanita. Baginya, sosok Mita sudah cukup menuntaskan dahaganya akan wanita. Cangkir hati Kevin sudah terisi penuh oleh cinta dan perhatian Mita.
Baru saja lelaki ini hendak beranjak dari messko, tertahan oleh suara Rasya.
"Eh, Dokter...."
"Ya?"
"Terima kasih, karena kemarin sudah membantu menjahit luka saya."
Kevin menarik sudut bibirnya, senyum tipis pun terukir diiringi anggukan kepala tanda maklum, "It's Ok. Lain kali hati-hati."
Kevin kembali memastikan penampilannya rapi di depan sebuah cermin kecil yang tertempel di tembok messko, di belakang dua koas yang sepertinya sedang saling sikut. Entah apa sedang mereka ributkan, Kevin tidak peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah segala argumen yang telah disiapkan untuk presentasi laporan kasus ToF dengan dr. Arsen.
Langkah Kevin kembali tertahan saat Rasya memanggil untuk kedua kali. "Dokter..., saya boleh konsul sebentar?" Koas cantik ini mengulum bibir, seakan menahan napas untuk mendengar jawaban Kevin atas permintaannya.
"Tentang?"
"Semenjak operasi kemarin saya tidak berani ambil hecting, Dok. Pun ambil darah pasien, pasang infus. Saya takut tremor lagi. Saya harus bagaimana, Dok?"
Kali ini senyum getir bisa Kevin temukan di wajah Rasya. Memang seorang tenaga medis apa lagi di bagian bedah, mau tidak mau harus bersinggungan dengan hecting. Bagaimana bisa koas menghindari hecting padahal sedang ada di stase bedah? Kemungkinan terburuk tentu saja peluang mengulang stase, dan itu artinya membuang waktu.
Kevin menghela napas panjang sembari duduk kembali di kursi tempat ia tak sengaja tertidur tadi.
"Pertama, kenali dulu apa penyebabnya. Ada gangguan kecemasan, kah? Mungkin kamu grogi berlebih mengingat kemarin adalah hari pertama kamu di stase bedah. Atau mungkin kamu kelaparan? Karena hipoglikemi bisa memicu tremor."
Kevin menumpukan punggung di sandaran kursi untuk merilekskan badan, sembari melirik arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu sedikit lagi untuk memberikan kuliah tremor mendadak bagi para koas yang sepertinya bucin ini, pikirnya.
Jari telunjuk Kevin mengetuk-ngetuk meja, seakan menunggu reaksi Rasya. Rasya sendiri hanya bergeming menatap Kevin, entah fokus pada wajah bersih nan menggoda atau suara yang keluar dari sana. Sedangkan Monik buru-buru mengeluarkan catatan kecil dan pena dari saku snelli-nya.
"Atau mungkin sebelum masuk ruang bedah kemarin kamu kebanyakan kopi? Kalau tremor kamu disertai penurunan berat badan, mungkin ada hipertiroid. Nikotin, alkohol, dan kelelahan juga bisa memicu tremor. Kalau kaitannya dengan saraf, mungkin ada Parkinson atau Multiple Sclerosis?"
Kevin mencubit udara dengan jempol dan jari tengahnya, menimbulkan suara 'bib' di depan wajah Rasya. "Kamu denger nggak?"
"Eh, iya, Dok. Saya dengar, maaf." Rasya gelagapan menjawab Kevin, sedangkan Monik menutup mulut, menahan tawa.
Tak ingin terlalu lama menjadi korban cuek dua koas bucin, Kevin bersiap untuk beranjak. "Oke, sudah paham, kan, harus gimana?"
"Dok...."
"Ya?"
"Mohon bimbingannya, Dok. Nanti kalau ada pasien hecting boleh saya didampingi? Kalau tidak merepotkan, Dok, maaf."
Rasya takut-takut melihat ekspresi Kevin setelah mendengar permintaannya. Permintaan yang menurut Kevin mengada-ada. Kenapa harus dia yang mendampingi? Bukankah koas punya supervisor sendiri? Monik pun terlihat kaget dengan kata-kata Rasya. Mulut koas satu ini ternganga, geleng-geleng kepala sembari tetap menambahkan tulisan di catatan kecil yang ia bawa.
Kevin menghela napas sekali lagi, lalu berpikir sejenak sebelum menjawab Rasya. "Satu minggu ini saya jaga di IGD, silakan kalau mau ikutin saya. Maaf, saya harus pergi."
Kevin bergegas keluar dari messko sebelum tertahan lagi. Samar ia masih bisa mendengar si koas mengucapkan terima kasih. Entah kenapa Kevin memiliki firasat kurang enak tentang Rasya.