Dua jam berlalu setelah Kevin menangani beberapa kasus emergency di IGD. Sosok koas cantik, Rasya, dan temannya, Monik menemani, bukan, lebih tepatnya mengikuti Kevin.
Hasilnya lumayan, Kevin bisa melihat senyum puas dan lega di wajah Rasya. Padahal Kevin hanya memberikan instruksi saat si koas menjahit ujung alis seorang anak enam tahun, yang datang ke IGD setelah jatuh di kamar mandi. Beruntung si anak bersikap kooperatif sehingga tidak memicu tremor lagi pada Rasya.
Namun, meski sedikit terhibur dengan keadaan Rasya, Kevin belum bisa mengusir kegelisahannya. Sudah beberapa kali ia menghubungi Mita tanpa ada jawaban. Seharusnya tidak butuh waktu lama jika saja tadi Mita benar-benar berada tak jauh dari rumah sakit. Akan tetapi, kenapa sampai sekarang belum ada kabar juga?
Hiruk pikuk IGD sejak tadi pagi belum juga mereda. Letak rumah sakit pendidikan tempat Kevin mengabdi memang strategis, dekat dengan pusat kota, pun fasilitas lengkap setara rumah sakit tipe B. Tidak heran jika kepadatan pasien yang datang lebih dari yang bisa diduga.
Bahkan terkadang Kevin harus rela jam jaganya menjadi lebih panjang dari normal, karena ada saja pasien datang mepet dengan jadwal oper jaga. Belum lagi jadwal operasi yang sudah seperti semut berjajar rapi setiap hari. Posisi Kevin yang dianak emaskan oleh konsulenlah yang mendukung hal ini terjadi.
Tak jarang Kevin harus rela melakukan hal-hal di luar urusan rumah sakit, seperti mengantar atau menjemput konsulennya di suatu tempat, mengurus dokumen penting milik konsulen, atau sekadar menemani makan malam. Sosok dr. Arsen yang juga sejawat dari dr. Dewa, Ayah Kevin, membuat Kevin benar-benar tidak bisa berkutik lagi.
"Kasep, dr. Arsen ini teman seangkatan Ayah waktu ambil spesialis. Kamu baik-baik dibimbing sama beliau, jangan membuat Ayah malu." Itu kalimat Dewangga saat kebetulan bertemu Kevin dan dr. Arsen pada suatu acara.
"Tenang aja, Dewa, walau anak kamu darah biru, nggak akan buat dia lepas dari morbiditas." Tanggapan dr. Arsen saat itu sempat membuat Kevin merinding.
Dalam dunia kedokteran, morbiditas berarti penyakit, sedangkan dalam dunia residensi, morbiditas adalah momok mengerikan bagi para residen. Akan tiba saatnya seorang residen mendapat hadiah semacam ini, yaitu ketika ia melakukan kelalaian.
Hukuman akan kelalaian yang baru-baru ini Kevin terima adalah tambahan jadwal jaga malam. Tidak semua kesalahan adalah alasan seorang residen mendapatkan morbiditas. Terkadang juga karena kesialan, dan entah kenapa Kevin merasa nasib sial setia mengiringi perjalanannya, bukan hanya saat pendidikan tapi juga masalah percintaan.
Seorang darah biru yang mengabdi di rumah sakit memang kerap kali mendapat perlakuan berbeda dari konsulen. Begitu juga dengan Kevin. Lelaki ini merasa dr. Arsen sangat mengutamakan dirinya. Perlakuan berbeda itu ditunjukkan dengan begitu cantik dan sedikit menyebalkan. Walau tak dapat dimungkiri, Kevin memang sedang butuh dekat dengan konsulennya dalam posisi dan kondisi apapun.
Di tahun kedua residensi ini ia memang dituntut untuk perang habis-habisan. Dari mulai teori, praktik, jaga malam yang begitu aduhai terasa. Terutama untuk urusan penanganan pasien, yang harus dinomorsatukan di atas kepentingan keluarga.
Hampir semua residen mengalami fase sulit, bahkan tidak sedikit pula yang tumbang karena tidak kuat melewati tahap ruwet bin rumit ini. Contohnya Alma, sejawat bedah yang sedang mengurus sidang cerai dengan suaminya. Bahkan setahu Kevin, Alma sampai tidak ada waktu untuk menghadiri sidang mediasinya, entah sengaja atau tidak. Miris.
Kejadian Alma yang terpampang nyata ini mau tak mau memengaruhi keteguhan hati Kevin untuk berkomitmen lebih serius dengan Mita a.k.a menikah secepatnya. Walau jika mundur saat ini bukanlah keputusan tepat.
Kevin pernah diserang dilema ketika hendak meminta Mita menjadi istrinya. Permintaan waktu jeda satu tahun setelah ia pulang tugas bencana di Nepal sudah dikabulkan Mita, pun syarat-syarat lainnya. Tidak ada alasan lagi bagi Kevin untuk melanggar komitmennya.
"Gue mau ambil spesialis, Mit. Artinya, praktis waktu gue bakal gue habisin di rumah sakit. Pun masalah finansial. Residensi gue full support dari Ayah, dan entah gue bakal digaji atau enggak pas pendidikan. Jadi, lo paham bagaimana kondisi keuangan gue untuk beberapa tahun ke depan, kaitannya sama nafkah yang harus gue kasih ke lo sebagai istri gue nanti."
"Gue bisa cari duit sendiri, kok. Kalau sekarang lo minta mundurin waktu lagi, gue nggak bisa, Kev. Calon-calon dari Bunda udah siap antri di belakang lo kalau lo lengah sedetik aja."
"Gue nggak bakal mundur. Seandainya mundur, itu bukan karena gue mau mundur. Tapi lebih ke konsekuensi yang harus gue tanggung setelah gue memutuskan ambil spesialis. Dan itu berkaitan sama lo, Mit. Gue tahu lo cewek mandiri, tapi gimana gue bisa sebut diri gue sebagai suami bertanggungjawab, kalau nanti gue lebih banyak waktu sama pasien gue daripada sama lo?"
"Lo nggak selamanya bakal pendidikan, 'kan, Kev? Nanti pasti akan ada akhirnya, 'kan? Saat lo jadi spesialis. Jangan lupa kalau Ayah Hans itu spesialis jantung juga, gue cukup tahu bagaimana ritme kerja Ayah semenjak gue teken kontrak jadi anaknya."
Sudah banyak hal yang mereka berdua bicarakan sebelum Kevin benar-benar memasuki fase berat pendidikannya. Sejauh yang Kevin tahu, Mita selalu suportif. Hanya saja Kevin tidak tahu akan seberapa lama kekasih mungilnya itu bisa bertahan? Sedangkan ia sendiri juga sedang berjuang demi masa depan.
Kevin sangat takut kehilangan Mita. Kevin tidak ingin melakukan kesalahan kedua kali dalam hidupnya dengan mencampakkan Mita. Lelaki ini pernah dalam posisi hampir kehilangan kesempatan memiliki Mita, dan saat itu rasanya seperti hidup segan mati tak mau.
Pun Kevin juga pernah kehilangan sosok Agatha, mantan kekasih yang—ia pikir—sangat dicintainya. Kemudian Agatha akhirnya terlepas karena pendidikan pre-klinik Kevin dan kesibukan sebagai mahasiswa kedokteran kala itu. Sampai akhirnya Kevin sadar bahwa ia tidak pernah mencintai Agatha seperti ia mencintai Mita.
Kevin berdecak kesal, untuk ke sekian kalinya ia mengecek pesan kepada Mita, belum juga dibaca. Sampai kemudian terdengar kasak-kusuk para perawat di ruang jaga.
"Pasiennya dr. Radit cantik, deh, jangan-jangan abis ini mereka jalan bareng."
"Ya biarkan saja, asal masih sama-sama jomlo, kan, tidak ada yang melarang."
"Nemu di mana, ya, dr. Radit?"
"Katanya, sih, deket rumah sakit ini."
Signal playboy Kevin seketika meninggi. Pasien cantik? Oke, Kevin tertarik dengan kata itu, tapi ketertarikannya ini karena takut kalau ternyata yang mereka sebut itu adalah Mita. Apalagi kejadiannya di dekat rumah sakit. Kevin mulai kalang kabut dengan asumsi yang bermain di pikirannya sendiri. Dan akhirnya lelaki ini memilih untuk mengonfirmasi.
"Ada pasien baru masuk IGD, Sus?"
"Iya, Dok, kecelakaan. Dibawa dr. Radit tadi, terus langsung ditangani."
"Pakai ambulans?"
"Enggak, Dok. Jadi ceritanya dr. Radit lagi keluar sebentar tadi, terus pulang ke rumah sakit malah bawa pasien."
"Oke, makasih, Sus."
Setengah berlari, Kevin bergegas ke IGD. Panik menguasai pikirannya. Segera ia menghampiri Radit yang tengah mendampingi perawat menulis sesuatu di meja jaga.
"Pasien yang barusan masuk namanya siapa, Dit?"
Radit menelusuri kertas rekam medis di meja sampai ke baris paling atas.
"Paramita."