"Halo Dita, tolong meeting pagi ini sampai siang nanti kamu handle dulu, ya. Aku baru bisa ngantor siangan." Ekspresi suram tergambar jelas di roman Mita saat menghubungi asisten pribadinya.
"Nanti kontrak-kontrak sama rekap notulensi kemarin aku email segera. Makasih, Ditooong."
Bukan rahasia lagi apa yang menyebabkan ponsel Mita sepagi ini sudah puluhan kali berdering. Ternyata banyak agenda yang harus ia batalkan karena panggilan manja lelaki sableng, yang sialnya ganteng, juga dokter, dan celakanya adalah calon suami Mita.
Lirikan mata gadis beriris cokelat ini kemudian teralih dari layar ponsel ke Kevin, "Lo udah periksa?"
Kevin menggeleng, masih terpejam. Tubuhnya terbaring, melesak lima senti di sofabed flat. Hari libur yang seharusnya diisi dengan rekreasi serta olahraga bersama sejawat, Kevin gunakan untuk beristirahat. Migrain menyerang lagi, dan seperti biasa, Mita selalu ada ketika ia membutuhkan bantuan.
Mita berdecak, "Dokter tu emang aneh, ya? Kalau ke pasien, apa aja dilakuin biar sembuh. Nah, giliran sendirinya sakit, nggak mau ke dokter," cibir gadis ini sembari meletakkan tas berisi laptop di meja dekat sofabed. Sedangkan ponsel tetap stand by di genggaman Mita, seolah ia akan mati kalau benda itu tidak menempel di tangannya.
"Gue, kan, nggak sakit, Mit. Cuma kecapekan aja. Dua minggu ini, kan, jaga malam gue gila-gilaan gara-gara konsulen kesayangan. Ini, tu, cuma kayak weekend headaches. Nasib gue aja nggak punya weekend."
Kevin mendesis saat bangun dari posisi rebah sambil memijat sisi kanan kepalanya. Walau denyutan di sana sungguh menyiksa, Kevin tetap memaksa bangun agar tidak tampak terlalu kesakitan di hadapan Mita.
"Tapi lo itu sering banget migrain, Kev. Lebih sering dari gue nyeri PMS kayaknya. Gue dapet aja cuma sebulan sekali. Periksa, deh, takut ada apa-apa."
"Temenin, dong. Mau nggak?" Kevin tersenyum. Tangannya menarik jemari Mita, supaya duduk di sampingnya. "Kapan hari, gue ketemu Okan, calon internist, tapi udah Chief Residen dia, terus konsul tipis-tipis. Doi rekomen gue supaya cek ke Dokter Sofi. Tapi gue pikir lebai, sih."
Kevin kembali membaringkan tubuhnya. Kali ini nyamannya pangkuan Mita jadi sasaran empuk kepala lelaki ini bertumpu.
"Pijit, dong, Mit. Nggak tahan nyerinya gue."
Akhirnya sifat manja Kevin meruntuhkan pertahanannya akan serangan migrain. Mita menurut saja ketika Kevin menuntun tangannya untuk memijat di area wajah lelaki sableng ini.
Mita mengerutkan dahi sambil mulai menekan-nekan ujung alis kanan Kevin dengan jempolnya. Kevin bereaksi dengan mempertahankan pejaman matanya sambil meringis-ringis menahan nyeri.
"Dokter Sofi?"
"Spesialis mata."
"Emang ada hubungannya migrain sama mata?"
"Saudara sepupu."
Mita menghentikan pijatan sejenak, lalu mendorong pipi Kevin dengan ujung telunjuknya. "Sableng! Serius gue nanyanya, Kev!" Kekehan Kevin pun terdengar di antara desis menahan nyeri kepala.
"Entahlah, Mit. Jangan ajak gue mikir dulu, deh. Biarin otak gue istirahat bentar. Pusing gue, kepikiran pasien DC kemarin. Moga-moga aja nggak kena morbiditas gue."
"Ngomong apaan, sih, lo? Nggak ngerti gue."
"Nggak papa. Lo cukup dengerin aja gue ngomel. Selebihnya, kehadiran lo di sini udah ngurangin migrain gue banget. Thank you, ya, my sweet Mita."
Kevin mengucapkan kalimat rayuan itu sambil tersenyum geli, seperti menertawakan dirinya sendiri yang kelewat bucin. Mita tersipu, mati-matian menahan senyum agar Kevin tidak lebih menggodanya. Walau Kevin yang masih terpejam ini juga tidak mungkin akan melihat senyum Mita mengembang.
"Dasar tukang rayu! Jadi lo lagi nggak bisa diajak mikir sekarang? Padahal gue ke sini udah bawa proposal, tuh."
Kevin mengubah posisi dari telentang menjadi menghadap ke kiri, sampai ujung hidungnya hampir bergesekan dengan perut Mita. Mata Kevin yang sedari tadi terpejam perlahan memicing, seakan menyelidik atas kalimat terakhir yang terlontar dari bibir peach Mita.
"Proposal?"
Picingan mata Kevin perlahan menutup kembali, sebagai salah satu usaha mengurangi nyeri yang menjadi-jadi.
Mita mengangguk sambil masih intens memijat kepala Kevin. "Karena kita selalu gagal ketemu Mas Aji, gue berinisiatif bikin proposal konsep pernikahan kita. Atas persetujuan lo juga, soalnya gue nikahnya sama lo. Kalau gue nikahnya sama Mas-,"
"Stop! Oke, gue dengerin, kayak gimana?"
Kali ini Mita tersenyum geli. Pemantik semacam ini hampir selalu berhasil untuk membuat Kevin fokus. Mita menepis jauh rasa bersalah pada Rendra untuk tindakan ini.
"Gue penginnya pake konsep minimalis aja, tapi modern dan elegan. Nggak usah sewa ballroom hotel atau gedung, di rumah Bunda cukup. Di halaman depan nanti gue bikin venue sederhana, ada pot-pot cantik gitu. Trus ada daun-daun digantung di balkon, biar kesannya kayak taman gantung di Babilonia."
Sebenarnya untuk masalah konsep, Kevin tak jauh beda pemikiran dengan lelaki kebanyakan. Simpel jadi syarat utama, efeknya juga pada penghematan anggaran. Karena jujur, Kevin sedang dalam kondisi finansial yang pas-pasan. Walau tak dapat dimungkiri bahwa nanti sang Mama juga yang akan membiayai pernikahannya.
"Hmm, gue setuju, sih, ngirit juga, 'kan? Trus yang di tempat gue gimana?"
"Kalau itu ntar tugas lo ngobrol sama Om Dewa sama Tante Yulia, dong. Ini, Bunda Marsha, kan, pasrah ke gue."
"Oke, lanjut."
Kevin juga tidak benar-benar memperhatikan variasi dekorasi yang Mita sebutkan. Yang bisa ditangkap otaknya saat ini hanya kata 'minimalis' saja. Karena bagi Kevin, yang penting adalah momen sakral saat akad. Penting terutama bagi isi dompet dan rekeningnya.
Perkara ribet tentang pernak-pernik ini dan itu biarlah jadi bagian Mita yang memikirkan. Setidaknya Kevin bisa memberikan ruang di otaknya untuk memusingkan hal ribet lain, misalnya Rasya, koas cantik yang belakangan sering sekali muncul di depan mata. Atau Radit yang ia pasrahi visit tujuh pasiennya sebelum di-visit langsung oleh spesialis besok pagi.
"Nanti pelaminan di ruang tamu gue bikin nuansa white sama gold, pake bunga-bunga lokal gitu. Trus, yang nggak boleh lupa, photobooth, gue pengin bikin ada kursi panjang, ada boneka-boneka sedikit di sana, sama sepeda mini yang dihias kertas krep dominan putih gitu. Gimana? Lo ada ide konsep photoboot lain?"
"Gue bayanginnya cakep, sih, Mit. Trus lanjut."
Apa barusan Kevin tidak salah dengar? Entah kenapa kumpulan kalimat Mita sangat bertolak belakang dengan konsep awal yang katanya minimalis tadi. Oh, mungkin standar minimal bagi mereka berdua memang beda. Kevin coba memahami dengan mengikuti arus kemauan kekasihnya, walau tak mungkir bahwa ia berpendapat agar Mita senang saja.
"Untuk sentuhan terakhir, nanti di belakang rumah, gue mau bikin garden party. Karena Ayah minta acaranya malem, jadi ntar gue pengin ada lampion-lampion gede digantung di pepohonan. Kateringnya mau buffe atau ala carte nanti gue tanya Bunda dulu. Trus, biar semarak, tambahin lampu warna-warni juga di antara pohon. Ntar kursi-kursi bisa diiket pake pita biar kelihatan cantik."
"Tapi lo nggak pake diiket, 'kan? Kan lo udah cantik."