The Resident

Natha Al Zahidi
Chapter #6

6. Deep Talk

Rekonstruksi mandibular, ruptur lien, hemoroid, apendisitis. Empat kasus operasi yang Kevin lalui sesore ini cukup melelahkan. Dan saat ini ia masih stand by kalau-kalau ada cito, atau konsul dari IGD maupun Poli.

Terus seperti itu, sampai paling tidak tiga tahun ke depan. Kalau boleh dibilang lelah, jelas melelahkan. Namun, melihat pasien-pasien pascaoperasi yang check out dari rumah sakit dengan wajah semringah, lelah Kevin seakan lunas terbayar.

Apalagi posisi sekarang ia tidak boleh keluar rumah sakit, selain untuk hal sangat mendesak. Praktis messko makin jadi spot favorit untuk beristirahat selain taman rumah sakit, seperti sekarang. Masih banyak hal yang harus Kevin kerjakan, terkait kegiatan ilmiah proses residensinya, tapi penat mengambil alih sejenak sebelum ia kembali beraktivitas.

Bulan ini ud brp kali lo migrain?

Lo ud jadi periksa?

Gue lagi meeting deket RS, mau makan siang bareng ga?

Ada sosis jumbo kesukaan lo di kulkas, roti tawar di meja deket pantri. Mayan buat ganjel sebelum lo visit.

Kevin tersenyum ketika layar ponselnya menampilkan chat room dengan Mita. Bahkan hanya dengan mengingat gadis manis itu bisa membuat tekanan pikirannya sedikit berkurang. Beberapa chat dari Mita bisa dibalasnya, walau tidak seketika. Namun lebih banyak yang hanya terbaca.

Hati Kevin seakan terpelintir ketika mengingat kelakuannya sendiri. Hanya chatting, dan ia tidak bisa memenuhi hak Mita tentang kelancaran komunikasi mereka. Pesan terakhir Mita tiga hari yang lalu bahkan baru saja Kevin sadari keberadaannya.

Operasi dan kroni-kroninya benar-benar menyita hampir seratus persen bagian otak Kevin, tak ada ruang untuk memikirkan hal lain. Terakhir saat Mita tidak ada kabar selama tiga hari, berujung apendisitis. Tidak termasuk ketika mereka lost contact.

Dan sekarang, Kevin ingin berusaha membayar semua. Kapan lagi ia bisa beristirahat tanpa kantuk seperti ini? Aura rumah sakit memang sangat membantu untuk tetap terjaga, walau mungkin otaknya sudah menuju setengah waras.

Mit, gue kangen.

Tiga kata itu sukses terkirim. Sambil menunggu balasan, Kevin membuka aplikasi kalender di ponselnya. Terhitung tiga bulan dari hari inilah rencana akad nikahnya akan dilaksanakan. Namun miris, Kevin tidak merasakan bagaimana sibuknya bersiap-siap.

Proposal konsep dari Mita sudah Kevin setujui, tapi ia merasa belum terlibat sepenuhnya. Alasannya tentu saja karena sibuk pendidikan. Mita selalu tampak maklum dan Kevin sudah terbiasa. Namun meski begitu, ada hal yang Kevin rasa masih mengganjal.

Ganjalan itulah yang membuat Kevin berniat menelepon Yulia, ibunya. Sebelum itu, Kevin sempat mengirim pesan lagi ke Mita karena pesan sebelumnya hanya terbaca tanpa ada balasan.

Yulia mengangkat telepon setelah dua kali nada dering terdengar. Kevin juga baru sadar ternyata ada panggilan tak terjawab dari sang Mama selama beberapa waktu belakangan. Notifikasi panggilan itu menumpuk. Pasti banyak hal yang ingin Yulia bicarakan terkait dengan persiapan pernikahan Kevin dan Mita.

"Kamu serius mau menikahi Mita, Kev?"

Kevin menggaruk dahinya dengan ujung telunjuk, frustrasi dengan pertanyaan sang Mama. Beruntung dinding pembatas di messko cukup untuk menyembunyikan ekspresi kesal Kevin.

"Kok, Mama nanya gitu? Kan, Mama sama Ayah udah ngelamar Mita buat Kevin. Udah dapet tanggal pernikahan. Kevin jadi bingung, Mama serius nggak nglamar Mita kemarin?"

Terdengar decak kesal dan helaan napas di seberang. Kevin pun mengubah posisinya dari telentang di kasur menjadi menelungkup, dengan berat badan bertumpu pada siku. Gestur yang cukup untuk menunjukkan perubahan keseriusan atas apa yang dibicarakan. Walau Yulia juga tidak akan bisa melihatnya.

"Kamu nggak inget dulu bilang nggak mungkin sama Mita? Nggak inget dulu bilang kalau sama Mita cuma temen? Sampe Mama bela-belain kenalkan kamu ke Nadia. Jangan salahkan Mama kalau sekarang Mama nanya ulang."

Kevin mengarahkan bola matanya ke atas, menemukan langit-langit ruang istirahat messko yang bercat putih. Pikiran lelaki ini sekaligus menelusur kembali kebodohan beberapa waktu lalu, ia yang terlambat menyadari labuhan cintanya milik siapa.

"Yah, dulu sama sekarang, kan, beda, Ma. Kevin baru sadar kalau ternyata cinta sama Mita. Kevin bisa gila mungkin kalau Mama nggak serius mau jadiin Mita mantu Mama."

"Ya udah, ya udah, trus kapan kamu mau menemui WO buat bahas resepsi di tempat kita? Mama harus ikut."

Bagi Kevin, sabda Yulia ini berada satu level di atas dr. Arsen. Apalagi dari nada bicara Mamanya sekarang, Kevin mendeteksi akan ada pemaksaan setelah ini.

"Pakai WO segala, Ma? Nggak usah, lah. Sederhana aja di rumah. Undang temen deket sama keluarga. Maksimal seratus undangan cukup, 'kan, Ma?"

Kevin kembali mengubah posisi, dari telungkup menjadi duduk di tepi dipan. Sebuah tanda pikirannya makin serius menanggapi perkataan Yulia.

"Enak aja kamu. Temen-temen Mama itu udah pada nunggu Mama punya gawe. Mama, kan, rajin kondangan. Apalagi kamu anak pertama Mama. Harus yang meriah, dong."

"Aduh, Ma, Kevin mana punya budget buat pesta gede? Ini buat sekolah aja masih minta Ayah."

Kali ini Kevin mengacak rambutnya. Tahu betul bahwa apapun yang ia perjuangkan, kalau tidak ada persetujuan dari sang Mama, maka dapat dipastikan akan sulit ke depannya. Seperti saat ia hendak berangkat tugas kemanusiaan ke Nepal dua tahun lalu. Yulia tidak pernah setuju, tapi juga tidak kuasa melarang.

"Budget resepsi pernikahan kamu besok itu tanggung jawab Mama sama Ayah kamu, Kev. Udah, deh, kamu nggak usah ikut ngurus. Nanti kalau waktunya fitting baju sama nyoba cincin aja kamu Mama ajak."

"Ma, nggak bisa gitu, dong. Kevin nggak pengin foya-foya pakai duit Mama. Mending uang buat pesta Mama kasih Kevin buat gedein perusahaannya Mita. Lebih berfaedah, Ma. Ayah pasti juga setuju."

Kerut di dahi Kevin mewakili kekesalan yang tidak bisa terungkapkan. Lelaki ini beranjak dari tepi dipan, lalu membuka pintu kamar tidur messko. Ia butuh udara yang lebih segar untuk mencerna apapun perkataan Yulia. Pun menghadapi kenyataan bahwa sang Mama pasti tetap akan pendirian dan keputusannya.

"Lagian dua bulan ini Kevin lagi dihukum sama konsulen Kevin. Nggak boleh keluar rumah sakit. Jadi otomatis Kevin nggak bisa nganter Mama ke mana-mana."

Kevin cepat-cepat merapikan rambutnya yang berantakan sekaligus melirihkan suara, karena di ruang utama messko sedang ada beberapa koas dan residen beristirahat. Lelaki ini memilih duduk di pojok, terasing dari Radit dan Alfi, sejawat residen bedah, juga Rasya dan Monika, koas stase bedah. Selain orang-orang itu, masih ada satu kelompok lagi, sepertinya koas juga yang entah sedang membahas apa.

"Ck, ya kamu tinggal telpon Ayah kamu, suruh menangguhkan dulu itu hukuman. Apa perlu Mama yang bilang ke Ayah kamu?"

Nada bicara Yulia terdengar lebih santai. Bahkan di telinganya yang tajam Kevin bisa mendengar suara kertas dibolak-balik di seberang sana. Entah apa yang tengah dilakukan Yulia.

"No, Ma. Please, no! Kevin nggak pengin buat Ayah malu. Itu bibit nepotisme harus diilangin sejak dini. Mama minta tolong Angga aja, deh, buat nemenin ke mana-mana."

Kevin akhirnya menyerah. Usahanya memengaruhi Yulia tentang budget resepsi tidak akan berhasil. Bahkan Kevin tidak yakin kalau Dewangga, Ayahnya, akan bisa bernegosiasi dengan Yulia tentang hal ini.

"Alah, adik kamu itu juga mulai sibuk, Kev. Mama nggak habis pikir, punya anak dua, kok, nurun Ayah semua. Angga kalau matanya nempel Dorland, udah, sampe besok pagi nggak bakal keluar kamar."

Lihat selengkapnya