"Dokter...."
Kevin mengerjap lalu terlonjak kaget ketika mendapatkan pandangannya gelap. Hanya sesaat, sampai buku bersampul biru cerah yang menutup wajahnya meluncur jatuh mengenai paha, lalu terhempas ke lantai begitu saja.
Rupanya barusan Kevin tak sengaja tertidur dalam posisi duduk bersandarkan kaki kursi, sembari meluruskan kakinya sendiri di pojok messko. Seingat Kevin, tadi ia sedang membaca 'Acute Pancreatitis, Diagnoses and Therapy', textbook seharga iPhone 7 hasil meminjam dari dr. Essa, Chief-nya.
"Maaf, Dok, kok, tidur di sini? Nanti lehernya sakit."
Rasya yang membangunkan Kevin. Koas cantik ini berlutut sembari memiringkan kepala di depan residen favoritnya dengan ekspresi tak tega.
Kevin menggeleng sambil memijit tengkuknya yang memang terasa sangat pegal. Sadarnya masih belum sepenuhnya kembali. Namun aroma floral dari koas di hadapannya tetap bisa terhidu dengan baik, memberikan efek tenang.
"Dok...."
Rasya menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Kevin. Sadar sudah kelebihan treatment, Rasya mengalihkan tatap ke buku bersampul biru di sampingnya, lalu diraih. Kevin kembali menggeleng sambil mengerjap.
"Sorry, saya capek sekali."
Kevin menghela napas panjang lalu beranjak. Setelah menangani cito Apendisitis tadi sore, sebenarnya ia bermaksud mendalami prosedur Nekrosektomi Pankreas di messko. Herannya kenapa banyak sekali kasus Apendisitis yang ditangani beberapa hari terakhir.
Kevin tidak berhasil mengingat apa yang sudah dibaca sampai tiba-tiba sudah ada Rasya di hadapannya. Koas cantik ini mengulurkan buku Edward Bardley ke arah Kevin sembari tersenyum prihatin.
"Sebegitu beratnya jadi residen bedah, ya, Dok?"
Kevin tersenyum masam, dengan gontai menyeret langkah ke kursi di tengah ruangan, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Kalau hanya fokus ke pendidikan mungkin tidak akan seberat ini, pikir Kevin. Kalau tidak terbentur dengan urusan lain, mungkin ia masih bisa santai.
"Kalau ringan, pasti dunia ini sudah dipenuhi ahli bedah, dan mungkin saya tidak akan secapek ini."
Rasya ikut duduk di depan Kevin berjarak selebar meja. Gadis ini sepertinya sangat antusias berbincang dengan residen pendampingnya. Terlihat dari roman ceria, dan penuh minat di wajah segar Rasya.
"Tapi saya yakin, Dokter Kevin pasti bisa melewati proses ini dengan baik."
Kevin heran lagi, apa motivasi Rasya masih berlama-lama bersamanya di sini? Bukankah kemarin sudah jelas informasi bahwa ia sudah tidak available lagi? Ah, Kevin berusaha menghapus pikiran negatif di otaknya. Siapa tahu Rasya memang sedang ingin beristirahat.
Kevin kembali tersenyum masam. Ingin sekali menebar positif vibe atas proses residensinya. Namun nyatanya ia sekarang sedang dalam kondisi tertekan. Terutama karena shock atas morbiditas tak tanggung-tanggung yang datang tiba-tiba, serta cekcok dengan Mita sore tadi. Mungkin dengan mengobrol akan sedikit mengurangi bebannya.
"Nanti malem saya asistensi operasi Nekrosektomi Pankreas sama dr. Essa, residen kepala, tapi sampai saat ini saya belum menguasai prosedur sama sekali." Kevin melirik arloji di pergelangan tangannya. "Padahal sebentar lagi saya harus konsul sama dr. Reno, ahli bedah digestif, untuk persiapan laporan kasus per-divisi."
Kevin mengusap wajahnya yang tampak lelah, membuat Rasya makin menatap prihatin, juga penasaran.
"Nekrosektomi Pankreas? Maksud Dokter pankreas pasien harus diangkat karena ada nekrosis?"
Kevin mengangguk sembari kembali membuka lipatan di otaknya. Menggali memori tentang pasien yang akan berjuang bersamanya beberapa jam lagi. Jemarinya mulai membuka buku Edward Bardley yang kini ada tepat di depan mata.
"Ya, salah satu bentuk Debridement. Jaringan nekrotik pada pankreas akan dipotong dan dikeluarkan. Tingkat keberhasilan 70 sampai 95%, tingkat morbiditas 20%, sedangkan angka kematian paling tinggi mencapai 18%. Kalau sampai ada intervensi bedah seperti ini, berarti pasien sudah ada pada stadium akhir penyakitnya. Angka kematian mencapai 50%."
Rasya menutup mulutnya tak percaya. "Kenapa operasinya baru dilakukan sekarang, Dok? Kenapa tidak dilakukan sebelum mencapai stadium akhir?"
Kevin menggeleng, "Saya tidak tahu, Departemen Bedah hanya menerima konsultasi dari internist. Karena kasus pankreatitis adalah ranah Departemen Penyakit Dalam. Mungkin sebelumnya nekrosis terinfeksi pasien dalam kondisi stabil, karena dalam kondisi seperti itu tindakan bedah memang sebaiknya ditunda lebih dari empat minggu."
"Ditunda, Dok?"
"Ya, untuk memberi kesempatan liquefication isi dan perkembangan dinding fibrosis di sekeliling nekrosis."
Kevin rasa Rasya tidak benar-benar tertarik dengan topik obrolan mereka, atau mungkin memang koas cantik ini tidak tertarik pada bedah digestif. Terlihat dari kedua tangan Rasya yang masih anteng, saling tertaut di atas meja, tidak mencatat apapun. Yah, walaupun memang ini bukan proses bimbingan juga.
Meski begitu, Kevin tetap mendapatkan keuntungan. Belajar dengan mengajar seperti ini adalah salah satu metode yang direkomendasikan oleh dr. Arsen.
"Om saya pernah bilang, menguatkan motivasi adalah salah satu cara untuk bertahan, selain mengasah kompetensi. Kalau dr. Kevin punya motivasi yang kuat, kenapa harus berhasil di proses residensi ini, pasti Dokter bisa. Soal kompetensi, tinggal bagaimana Dokter berusaha. Dokter setuju?"
Kevin mengangguk sambil mengulang kalimat Rasya di otaknya, sebagai bentuk afirmasi positif bagi proses yang sedang dijalani. Kalimat yang sering ia dengar dari Master Why, dalam versi lebih ekstrim.
"Kalau kalian sudah jadi ahli bedah, terus kalian mau apa? Leha-leha di rumah, tunggu panggilan konsul, terus datang kalau gaji terjamin sudah ditransfer dalam jumlah fantastis? Begitu? Ngimpi kalian!"
Kevin kembali tersenyum masam. Ternyata dr. Arsen memakai diksi dan style berbeda untuk setiap karakter manusia yang dijumpainya. Rasya jelas karakter manja dan sedikit menye-menye, jadi harus memakai style halus dan lembut, pemilihan kata untuk memotivasi pun dijaga agar tidak membuat makin down.
Hubungan keluarga antara dr. Arsen dan Rasya tentu juga memengaruhi pola komunikasi mereka. Walaupun hanya paman dan keponakan, hubungan mereka jelas lebih dekat dari yang terlihat. Tampak dari bagaimana Rasya bersikap manja pada Om Nio-nya.
"Bekerjalah dengan hati, pasti nanti akan sampai ke hati. Kalau profesionalitas sudah terjaga, percayalah, rezeki akan mengikuti."
Mengingat keterbatasan finansial yang sedang Kevin alami sekarang, tidak salah jika niat mengambil spesialis adalah untuk memperbaiki taraf hidup. Namun, lagi-lagi pesan dr. Arsen menohoknya.
"Akan sangat berat jika niat kalian ambil spesialis hanya karena financial reward atau prestise. Kenapa? Because the road is very long and expensive to get there."
Pesan dari dr. Arsen mutlak benar, dan Kevin sedang merasakan itu. Melalui road yang very long and expensive. Tinggal refleksi diri, sebenarnya apa tujuan utamanya mengambil spesialis? Hanya untuk memenuhi janji ke sang Ayah, atau karena ingin dihormati sebagai ahli bedah, atau supaya bisa kaya, atau untuk tujuan lain.
Kevin bahkan tidak yakin kalau tujuan menempuh PPDS bukan salah satu yang baru saja mampir di otaknya. Tampaknya lelaki ini masih harus menggali, kenapa obsesi untuk menyelesaikan PPDS begitu mengakar dan mendarah daging di diri. Bahkan sampai abai pada kekasih hati.