Kevin membuka mata, mengerjap sebentar karena merasa air menggenangi kelopaknya. Tangannya terulur meraba kepala, sumber nyeri beberapa waktu yang lalu. Migrain sudah sangat berkurang, meski ia belum sepenuhnya menemukan titik fokus mata. Semua yang dilihatnya seakan ditutupi kabut tipis.
"Dokter udah siuman?"
Ah, suara itu. Suara terakhir yang Kevin ingat sebelum gelap sesaat menguasai dunianya. Si pemilik suara tengah berdiri kaku di tepi brankar. Senada gestur tubuh, ekspresi Rasya juga terlihat lesi.
Tenggorokannya terasa dipenuhi lendir, Kevin mendeham. Sebagai usaha untuk mengembalikan kewibawaan dan menganyam jarak setelah mungkin tadi Rasya terlalu dekat secara fisik dengannya.
"Ini di mana?"
"UGD Citra Medika, Dok, seperti permintaan Dokter sebelum kolaps."
Kevin mengangguk. Pikiran lelaki ini otomatis mencari tahu bagaimana cara Rasya membawanya ke Citra. Mungkin ada koas satu lagi yang memapah berat tubuhnya, atau mungkin Radit ikut andil. Mengingat dua manusia penghuni messko itu sering berkonspirasi memojokkannya.
"Terima kasih, Dek. Kamu bisa kembali ke RSP. Maaf, saya tidak bermaksud merepotkan."
"Saya tidak bisa meninggalkan Dokter sendiri. Saya sudah izin ke Om Nio, kok. Lagipula jadwal stase saya hari ini sudah selesai, Dok."
Kevin memaksa tubuhnya bangun. Jemarinya sempat membuat gerakan penolakan saat Rasya mendekat dan reflek ingin membantu Kevin menegakkan tubuh.
"I'm Ok. Terima kasih. Apa tindakan yang diberikan ke saya tadi?"
Rasya menggeleng, "Saya tidak tahu, Dok. Saya panik luar biasa. Dokter jaga tadi cuma bilang mau observasi dulu, karena vital sign Dokter cenderung stabil. Sepertinya saya harus memanggil dokter jaga lagi."
Tangan Kevin terulur ke Rasya, membuat gestur menahan. Koas cantik ini mengerti, lalu mengurungkan niat memanggil dokter jaga.
"Kamu simpan handphone saya?"
Rasya gelagapan, seperti maling tertangkap warga. Cepat-cepat gadis ini mengeluarkan ponsel Kevin dari saku blouse-nya. Tadi sewaktu Rasya membawa Kevin ke Citra, ponsel Kevin sempat terlempar dari saku snelli, entah bagaimana kondisinya sekarang.
Kevin sempat melihat Rasya menggigit bibir sebelum mengulurkan ponsel itu. Seperti ingin berbicara tetapi cemas, ragu-ragu, atau, ah, Kevin tidak tahu.
"Kamu tidak perlu khawatir meninggalkan saya. Ada banyak sejawat saya dinas di sini."
Merasa sudah bisa mengontrol tubuh, Kevin turun dari brankar kemudian bergegas ke Nurse Station. Beruntung ada Suster Lina, perawat yang sudah bekerja di Citra Medika sejak Kevin masih praktik jadi dokter umum. Bahkan saat Citra Medika masih belum bertransformasi menjadi rumah sakit seperti sekarang ini.
"Lho, Dok? Udah baikan? Dokter Salma tadi sedang ke bed lain."
Suster Lina yang sebelumnya sedang menulis sesuatu di meja, sontak berdiri saat melihat Kevin datang dari UGD.
"Tolong bilang ke Dokter Salma, gue minta rujukan ke spesialis mata, Lin."
Kevin menumpukan kedua siku di meja jaga. Senyum menggoda yang dulu selalu ia berikan ke perawat-perawat Citra Medika, kini berubah menjadi senyum sekadarnya. Kevin sedang dalam mode tidak bisa diajak asyik. Pikiran tentang sesuatu yang terjadi pada matanya sedang sangat mengganggu.
Hanya satu yang masih sama dari Kevin yang dulu. Panggilan akrab antara ia dan perawat lama masih dipertahankan. Salah satu bentuk apresiasi juga, sekaligus membedakan interaksi di antara mereka.
"Tapi, kan, harus diperiksa dulu, Dok. Nanti Dokter Salma bingung isi RM-nya."
"Anamnesis bisa di ruangan Dokter Dewangga. Gue tunggu di sana. Oke?"
Suster Lina mengangguk, bagai terhipnotis menuruti instruksi Kevin, anak dari pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Kevin berbalik. Terkesiap ketika ia hampir menabrak Rasya yang masih setia mengekorinya.
"Kamu masih mau ikutin saya? Ini bukan di UGD atau Poli RSP. Sebaiknya kamu pulang, gunakan waktu untuk istirahat sebelum maraton stase plus jaga malam."
"Dok, kenapa Dokter minta rujukan ke spesialis mata? Dokter baik-baik saja, 'kan?"
Kevin bisa melihat wajah koas cantik di hadapannya makin lesi. Seperti ada berjuta kekhawatiran di sana. Mungkin sadar kalau prosedur seperti ini pasti Kevin lakukan bukan tanpa alasan. Kevin sedikit geram, tapi tidak ingin bereaksi terlalu frontal.
Selain karena Rasya adalah koas bimbingannya, juga karena hubungan Rasya dengan konsulen Kevin. Lelaki berkulit putih ini tidak ingin mendapat morbiditas lebih dahsyat lagi setelah tinggal dua bulan di rumah sakit.
Kevin membawa kakinya melangkah ke ruangan Dokter Dewangga, sambil berusaha santai mengobrol dengan Rasya. Tidak ingin mencipta ruang terlalu intens dengan koas cantik yang kini masih setia mengiringi langkahnya. Juga enggan berbagi tentang masalah yang masih ia selami kebenarannya.
"Maaf, ya, Dek. Sepertinya ini ranah pribadi saya. Jadi apa boleh saya memiliki privasi tentang kondisi kesehatan saya?"
"Saya tidak akan menceritakan pada siapa pun kalau Dokter pingsan di tangga darurat. Saya juga tidak akan mengatakan pada Om Nio, kalau Dokter periksa ke spesialis mata di Citra Medika. Saya bisa jaga rahasia, kok, Dok."
Kalimat panjang lebar Rasya membuat Kevin seketika berhenti lalu menoleh, menatap tajam koas bimbingannya. Apa barusan koas cantik ini sedang mengancam?
Oh, tentu saja. Kevin memang tidak berencana menceritakan kegiatannya di Citra Medika kepada siapa pun. Kesalahan sekaligus kesialan Kevin hanya satu, kenapa harus Rasya yang menemukannya pingsan di tangga?
"Maksud kamu apa, Dek?"
Rasya susah payah menelan saliva, "Dengan satu syarat, Dok."
Kevin terdiam. Berbagai kemungkinan seketika berloncatan di otaknya. Seperti diagnosis banding dari bermacam-macam gejala klinis serta pemeriksaan penunjang sebuah kasus.
"Tolong izinkan saya mengetahui keadaan Dokter yang sebenarnya."
Boom!
Kevin sudah menduga akan seperti ini jadinya. Ia kembali menyeret langkah. Panik tapi berusaha tetap tenang menghadapi Rasya, sepaket dengan kekeraskepalaan sekaligus kerapuhan jiwanya.
Kejadian tremor saat hecting di ruang operasi dan obrolan di messko kemarin cukup untuk Kevin mengetahui pernah ada masalah dengan psikologis Rasya.
"Untuk apa? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari saya?"
Mereka berdua masih berjalan beriringan. Kevin menebar pandangan ke banyak sisi, kecuali sudut di samping kanannya. Ia ingin menunjukkan bahwa topik pembicaraan mereka, tidak penting baginya. Kevin tidak ingin Rasya merasa diperhatikan.
"Maafkan saya, Dok. Tadinya saya ingin menyimpan ini sendiri, tapi Om Nio sudah telanjur buka kartu saya. Saya nge-fans sama Dokter, boleh, 'kan?"