Masih mengenakan pakaian dinas residen jaga berwarna biru dongker Kevin mengurut-urut dahi. Baru saja ia melakukan prosedur vena section untuk kedua kalinya di minggu ini. Tindakan pada lelaki tiga puluh tahun yang didiagnosa oleh residen penyakit dalam dengan Chronic Kidney Dissease (CKD) di UGD RSP.
Kalau serangan migrain tidak datang, mungkin ia masih stand by di ruang jaga. Tangga darurat RSP adalah satu-satunya tempat bersembunyi baginya. Tidak ada orang yang akan menyambangi tempat ini, kecuali sedang dalam keadaan darurat.
Mungkin juga kecuali Rasya. Ah, kepala Kevin makin sakit ketika mengingat kelakuan koas cantik itu dari hari ke hari. Raditlah sejawat terkampret yang selalu mendukung perjodohan antara Kevin dan Rasya. Saking seringnya mereka bertiga berada dalam satu frame kerja di RSP. Kevin jadi curiga ada konspirasi busuk di sini.
"Buat Kamis yang jaga stand bedah di kampus, lo sama Dek Koas Rasya, ya, Bro?"
Itu permintaan Radit yang kebetulan jadi staf sie acara dalam peringatan Dies Natalis kampus mereka. Yang tentu saja ditanggapi cibiran oleh Kevin.
"Berdua doang? Gue nggak boleh keluar rumah sakit kalau lo lupa."
"Jaga stand bedah itu masuk dalam keadaan mendesak, Bro, kalau lo inget," Radit terkekeh, menertawakan kalimatnya sendiri, "apalagi yang lo temenin itu ponakannya konsulen, mendesak kuadrat, Bro. Setuju?"
Radit tergelak, membuat Kevin ingin sekali menyumpal mulut residen sejawatnya ini dengan mesin EKG saat itu juga.
"Sekalian aja lo suruh gue asistensi sama dr. Reno seminggu berturut-turut."
"Hah? Serius? Ntar gue usulin atas permintaan sendiri. Mampus-mampus, dah, lo."
"Sarap lo, Dit. Bunuh aja gue sekalian."
Kevin dikenal suka berkelakar dengan sesama residen, tapi untuk urusan satu ini Kevin tidak bisa diajak bercanda. Radit tidak tahu saja kalau 'Dek Koas Rasya'-nya sudah bermain hati dengan Kevin.
Masih mengurut dahi, pikiran Kevin melayang ke Citra Medika, beberapa hari yang lalu saat ia konsultasi dengan Dokter Chandra, Sp. M.
"Tekanan intraokuler 19 mmHg, cukup tinggi, walau masih dalam range normal, batasnya sampai 21 mmHg. Terkait keluhan tentang migrain beberapa waktu terakhir, dan gejala klinis lainnya, saya menyimpulkan Anda ada suspect Glaucoma."
Betapa definisi petir di siang bolong bisa Kevin rasakan saat itu. Glaucoma, penyebab kebutaan kedua di seluruh dunia setelah katarak. Sering disebut sebagai pencuri penglihatan. Setidaknya ini pengetahuan minim Kevin saat itu tentang penyakit yang mungkin dideritanya.
"Saya masih perlu melakukan tes lain untuk tegak diagnosa. Cek kondisi saraf mata dengan perbandingan cup disc ratio, dan memeriksa lapang pandang. Tapi sayang tidak bisa di sini. Anda bisa saya rujuk ke rumah sakit tipe A, atau ke klinik mata milik saya."
Setelah konsultasi itu, Kevin jadi sering mengecek manual penglihatannya sendiri. Mengerjap-ngerjap, memastikan lapang pandangnya tidak terhalang sesuatu dari dalam. Masih normal. Semoga matanya memang baik-baik saja, tapi kenapa migrain masih saja menyerang kalau memang tidak ada masalah di sana?
Saat ada serangan migrain seperti ini, yang belakangan ia ketahui sebagai efek naiknya tekanan bola mata, biasanya akan membaik jika ia mengistirahatkan mata a.k.a tidur sebentar.
Lalu kenapa sekarang Kevin tidak tidur saja? Kalau solusinya sesimpel itu, Kevin tidak akan se-desperate ini. Tingginya tekanan intraokuler yang dialaminya berefek pada kerusakan saraf mata. Lama kelamaan kerusakan itu meluas, kemudian sedikit demi sedikit akan merenggut lapang pandangnya.
"Kerusakan pada saraf mata penderita Glaucoma bersifat irreversible, tidak dapat dikembalikan. Walau dengan jalan operasi sekalipun. Glaucoma tidak ada obatnya, tidak bisa sembuh. Kami hanya bisa mengendalikan efeknya saja."
Itu prognosis yang diberikan dr. Chandra kemarin. Awalnya Kevin masih santai, tapi makin ke sini pikirannya makin tidak karuan. Membayangkan tidak bisa melihat saja begitu menyesakkan, apalagi kalau itu benar-benar terjadi.
Kemarin Kevin hanya menjalani tonometri, lalu diberi obat oral penurun tekanan intraokuler, serta tetes mata. Ketika terjadi serangan akut, Kevin diimbau segera menurunkan tekanan pada bola matanya dengan obat itu. Agar kerusakan saraf bisa diminimalkan.
"Saya minta maaf, Dok. Apakah Dokter bersedia menyimpan rapat rekam medis saya?"
"Rekam medis pasien memang bersifat rahasia. Saya tidak akan menyebarkan ke siapapun."
Kevin menghela napas berat. Ia masih belum jujur akan statusnya sebagai residen bedah pada Dokter Chandra. Kemungkinan berakhirnya karier PPDS, Kevin rasa sudah jelas terpampang di depan mata. Apalagi kalau sampai dr. Chandra punya koneksi dengan konsulennya. Tidak mungkin, kan, calon ahli bedah juga menyandang status sebagai calon penyandang tuna netra?
Argh, Kevin frustrasi. Penyakit ini bagai momok yang menghantui pikirannya. Walau diagnosa belum tegak, tapi entah kenapa feeling Kevin sudah sangat buruk. Apalagi fakta pada jurnal-jurnal tentang Glaucoma yang sempat ia baca beberapa waktu belakangan. Membuat Kevin hampir yakin bahwa penyakit yang sering disebut silent killer itu sedang mengincarnya.
Efeknya? Kevin hampir masuk ruang isolasi karena pelanggaran ringan. Makalah di awal semester lima belum juga selesai karena keranjingan mencari tahu tentang Glaucoma. Untung ada Radit yang menggemblengnya di saat-saat batas terakhir pengumpulan. Ditukar dengan join langganan jurnal kedokteran luar negeri yang lumayan menguras dompet.
Belum lagi pikiran tentang kekasih hati yang tak kunjung menghubungi. Seingat Kevin, satu minggu yang lalu terakhir ia mendengar suara gadis manisnya. Setelah itu ia tidak menggubris ruang chatting ponsel lagi selain panggilan darurat dan WAG residen yang menginfokan tentang deadline laporan kasus, jadwal CBT ujian per subdivisi, dan hal mencekik lainnya.
Apa Mita masih di Madiun?
Terkadang Kevin bersyukur diberi serangan migrain seperti ini. Karena membuatnya ingat, ingin dekat, dan mengeluh pada Mita. Lelaki macam apa dia? Menghubungi kekasih ketika butuh saja.
Gue berengsek banget, ya, Mit?
Kevin terkekeh, merasa beruntung bisa memacari gadis sesabar Mita sekaligus miris menyadari keberengsekannya. Tanpa ragu, Kevin mencari kontak Mita lalu melakukan panggilan video. Rindu sudah tidak tertahankan. Bahkan Kevin tidak ingat kapan terakhir ia menghirup dalam-dalam aroma red jasmine dari Mita.
"Tumben videocall? Kesambet lo?"
Jawaban ketus Mita membuat Kevin heran. Ada apa lagi? Jangan-jangan ada yang salah dengan gadis mungil ini seminggu belakangan.
"Kangen."
"Resek banget, sih, lo? Kalau lagi sama cewek lain aja nggak inget gue!"
Sebentar, apa tadi Mita bilang? Kevin terbengong-bengong, tidak mengerti dengan topik pembicaraan Mita. Bibir mengerucut gadis manis ini tampak lucu, dipadu dengan mata memicing menghindari sinar matahari sore. Padahal Mita sudah mengenakan helm safety warna kuning bak mahkota yang melindungi kepala.
"Maksud lo pasien cewek?"
"Tiga hari yang lalu gue telepon, yang angkat suara cewek, tuh, langsung aja gue cancel janji sama Tante Richa."
Masih belum ada senyum manis menghias bibir Mita. Demi Tuhan Kevin rindu sekali dengan benda itu. Rambut kemerahan milik Mita yang sesekali tertiup angin merupakan pemandangan paling indah bagi Kevin saat ini. Setidaknya sampai saraf matanya benar-benar rusak nanti.
Seingat Kevin, tiga hari yang lalu ia di Citra Medika, ponsel baru bisa ia pegang saat siuman dari pingsan karena serangan migrain. Kevin berdecak. Jadi ini maksud gestur gelisah Rasya waktu itu.
"Eh, Kev, itu jidat lo kenapa? Kok merah gitu?"