Ukur jas dan gaun pengantin sudah terlaksana. Tante Richa berjanji akan memprioritaskan permintaan Kevin dan Mita karena acara akad tinggal dua bulan lagi. Penyediaan bridesmaid diserahkan pada Elfatih, sahabat Mita dan Kevin, yang juga adalah menantu Tante Richa.
Pulang dari butik Tante Richa, Kevin dan Mita menyempatkan untuk mampir ke studio foto. Mita memiliki konsep pre-wed indoor yang menonjolkan profesi mereka.
Hasilnya cukup membuat Mita tersenyum puas, ada tiga foto yang dikolase menjadi satu. Mita dengan kostum lapang ketika meninjau proyek, sepatu boot, rompi safety berwarna hijau, juga helm safety, tanpa make up berlebih. Kevin dengan scrub berwarna hijau berlapis snelli, lengkap dengan penutup kepala dan stetoskop menggantung di leher.
Posisi keduanya berdiri menghadap kamera. Kolase tiga foto berjajar ke bawah, dengan jarak makin dekat dan ekspresi serta gestur makin akrab. Menurut Mita itu sebagai gambaran proses hubungan mereka sampai proses pra-akad.
Libur bagi Kevin sayangnya tidak senada bagi Mita, tentu saja karena hari itu adalah Senin yang sibuk. Tak terhitung berapa kali Mita harus menerima telepon, entah dari klien, calon klien, maupun asisten pribadinya.
Kevin pun tidak ambil pusing. Bisa bersama Mita tanpa teror panggilan darurat adalah kenikmatan hakiki. Itu juga karena persentase kehadirannya dalam menangani kondisi darurat di UGD sudah ia penuhi untuk bulan berjalan. Morbiditas dari dr. Arsen kali ini turut andil, karena stand by di rumah sakit sepanjang hari adalah koentji bisa gercep setiap saat.
Setelah makan siang yang terlewat satu jam, Kevin dan Mita kembali ke flat. Calya jingga milik Mita masih bersemayam di basement flat Kevin. Mita sempat menyesal memilih ikut Kevin dengan Ninjanya, karena fakta yang ada mereka berdua kembali ke flat dalam kondisi setengah basah. Mita lebih terlindung dari air hujan karena terhalang tubuh Kevin di posisi kemudi.
Belum juga meletakkan badan penat ke sofa, ponsel Mita kembali meraung. Sedangkan Kevin yang memprediksi bahwa sinar matahari langsung serta kandungan air hujan berpengaruh pada tekanan bola matanya, bergegas membersihkan diri ke kamar mandi.
Mudita Maharani, asisten pribadi Mita kembali menelepon. Dita meminta pertimbangan direktur perusahaan a.k.a Mita untuk menghadapi klien yang rewel dan sangat complicated permintaannya.
"Aku nggak tahu lagi mesti gimana ngadepin klien yang satu itu, Dit. Kamu udah coba telfon? Jangan ke Bu Puspa, coba ke Mbak Hanum, sekretarisnya."
"...."
Mita melepas kacamata lalu memijit sinusnya, frustrasi. Gadis manis bermata cokelat terang ini hampir hilang kesabaran menghadapi Ibu Puspa, klien yang sudah belasan kali mangkir dari tagihan pembayaran jasa konsultannya. Alasannya karena bukti sertifikasi perusahaan yang belum terbit.
"Mereka tu ngerti nggak, sih? Sertifikat belum bisa keluar kalau invoice belum dipenuhi. Mau teken kontrak sama yang lain juga bakal sama semua se-Indonesia. Kamu udah jelasin begitu belum?"
"...."
Gemas pada Dita yang lebih banyak lemotnya daripada tanggapnya, membuat Mita kadang harus bekerja dua kali. Meski yakin Dita sudah bekerja sesuai prosedur, tapi entah, khawatir masih saja menghantui. Kesetiaan Dita menemani Mita dari awal merintis perusahaan jasa konsultan jadi pertimbangan berat bagi Mita untuk mengganti asisten.
"Ya udah, deh, ya udah. Daripada rewel, lunasin dulu ke Badan Sertifikasi. Sekalian klaim yang zero accident. Siapa tahu kalau udah diundang ke Jakarta jadi kebuka mata mereka"
"...."
Mita menghempaskan tubuhnya ke sofabed flat, ingin merebahkan diri tapi sadar kalau ini bukan di kamarnya sendiri. Mita tidak berniat mengiakan usul somplak Kevin tadi pagi.
"Iya, sebelas juta. Ada, 'kan? Ntar gajiku off-in dulu dua bulan, nggak masalah."
"...."
"Oke, makasih, ya, Dit."
Kevin sudah berganti pakaian santai, celana basket dan kaus tanpa lengan. Lelaki ini sedikit mengernyit ketika mendengar kalimat penutup telepon Mita.
"Dit? Siapa, Mit? Radit?"
"Dita, asisten gue."
"Gue pikir Radit."
Lega, Kevin ikut duduk di samping Mita sambil mengingat-ingat di mana terakhir ia meletakkan ponselnya. Bagaimanapun juga ia was-was kalau ada tugas mendadak dari dr. Arsen yang mungkin belum sempat diketahuinya.
"Maksud lo Dokter Radit temen lo yang residen itu?"
Kevin hampir melongo, kaget dengan jawaban Mita. "Lo kenal?"
Baru saja Kevin hendak beranjak karena ingat meletakkan ponsel di kamar, tapi urung. Ada hal lebih penting dari keberadaan ponselnya saat ini. Hal yang berhubungan tentang masa depannya dengan Mita.
"Ya semenjak kecelakaan waktu itu, dr. Radit kadang WA gue."
Kevin terperangah, merasa kecolongan. Jadi omongan Radit tentang meminta nomor ponsel ayah Mita waktu itu bukan tanpa makna? Lalu tentang lamar melamar? Argh, Radit memang benar-benar sejawat terkampret.
"Radit? WA lo? Kok, lo nggak cerita ke gue?"
Posisi Kevin sudah benar-benar menghadap Mita, dengan satu kakinya dilipat di atas sofabed. Tatapan menyelidik dikombinasi dengan kerut di alis Kevin melengkapi ekspresi tidak terima. Mita yang masih enggan memisahkan punggungnya dengan sandaran sofa, menoleh malas ke arah Kevin.
"Penting?"
"Ngomong apa aja tu Curut?"
Kevin masih menahan diri untuk menyimpan rasa cemburu agar tidak tergambar jelas di nada bicaranya. Pun rasa jengkel level hampir game over pada Radit.
"Kenapa, sih? Lo cemburu? Dokter Radit cuma kirim quote-quote doang."