Kelabu menghilang dari langit sana, menunjukkan sebuah senja yang sempurna.
Jingga mewarnai semesta, membiarkan mentari tenggelam dengan penuh cinta.
Dan untuk pertama kalinya, tidak makhluk malam yang keluar untuk memburu mangsanya.
Para prajurit berhenti berperang, dan para bangsawan tidak melakukan apa-apa.
Dunia beristirahat, menyambut kedamaian yang dibawa pahlawan mereka.
Kekacauan kehilangan tenaga, dan dunia diselimuti malam yang mesra selanjutnya.
Bintang-bintang mengenang masa lalu di angkasa.
Menemani mereka adalah purnama dengan cahaya yang tenang dan sederhana di mata.
Itu adalah suasana yang indah dan damai bagi benua.
Sang Raja Iblis sudah tiada, dan tak ada lagi dari mereka yang perlu takut akan mati begitu saja.
Namun, di antara semua bahagia itu adalah kesedihan yang paling nyata.
Sebuah kesedihan yang diderita oleh dia yang telah menyelematkan semua.
Berlutut di bawah takhta sang Raja Iblis adalah seorang pria yang telah dipilih oleh para Dewa.
Sang pahlawan adalah bagaimana semua orang memanggilnya.
Tapi, bagi sang wanita yang kini dia peluk dengan putus asa, dia adalah orang gila.
Bagi sang wanita yang kini tidak bernyawa, dia adalah ayah dari gadis kecil mereka.
Bagi sang wanita yang mustahil digantikan dunia, dia hanyalah manusia biasa.
Manusia yang menangisi kepergian pujaan hatinya.
Manusia yang jatuh cinta dengan mudah.
Manusia yang berhasil menyelamatkan dunia, namun gagal melindungi dunianya.
Sekarang, semua yang bisa dia lakukan adalah menjatuhkan air mata; meratapi apa yang sirna.
Semua yang bisa dia lakukan adalah memeluk istrinya.
Berharap, masih berharap sang istri akan hidup kembali ke dunia.
Dia berdoa, kepada para Dewa yang tidak percaya.
Memohon kepada siapa saja, menjanjikan semua agar sang istri kembali ada di dunia.
Namun malam menua, berubah menjadi pagi, dan mentari kembali menyapa.
Enam jam sudah dia tidak bergerak dari tempatnya, sibuk membisikkan hal yang sama.
"Hei," berharap, "aku mencintaimu, kau tahu," untuk kesekian kalinya bahwa sang kekasih akan membuka mata karena kalimatnya.
Segalanya dia lakukan dengan harapan kecil bahwa sang pemilik hati masih ada di sana.
Tapi apa yang semua usahanya lakukan adalah sebaliknya.
Semakin banyak hal yang dia coba, semakin putus asa pula dia sebab tidak ada yang bekerja.
Lama, lama dia melakukannya.
Masih gagal untuk menerima, namun tahu betul bahwa dia tidak bisa melakukan ini selamanya.
Dirinya bisa mendengar tangisan putri mereka di rumah.
Dia bisa merasakan hangat siang yang akan segera tiba.
Dirinya tahu bahwa kematian adalah takdir dari semua yang ada.
Meski begitu, dia tak mau menerimanya.
Meski begitu, dia tidak akan pindah.
Meski begitu, dia harus rela.
Tetesan air matanya yang terakhir jatuh dan menggores wajah sempurna kekasih tercinta.
Dia menatap wajah manis dengan sebuah senyum patah di muka.
Tidak pernah gagal wajah sang istri membawa senyum ke wajahnya.
Bahkan saat semua yang tersisa adalah muka pucat tak bernyawa, dia masih saja bahagia.
"Sampai jumpa lagi," dia mencium istrinya, "suatu hari nanti."
Ditemani susah, dia membaringkan mayat sang istri di depan takhta si Raja Iblis yang Hina.
Diterangi sinar mentari yang menembus lubang di atap ruang takhta, kekasihnya bercahaya.
Dia tersenyum, memberikan hadiah terakhirnya kepada dia yang telah memberinya bahagia.
Apa yang dia berikan adalah hadiah dari para Dewa.
Sebuah pedang suci yang mampu mengusir korupsi dia tancapkan di samping sang istri.
"Jaga duniaku selamanya, kawan lama."
Pemberian dunia itu berkilau seakan merespons perintah terakhir tuannya.
Sebuah respons kecil yang dibalas sang pahlawan dengan satu anggukan lelah.
Dia berbalik, berjalan dengan susah untuk pulang ke tempat yang bukan lagi rumah.
Berat setiap langkahnya.
Dirinya menderita, tersiksa, dan untuk pertama kalinya: "… menyerah."
Sang wanita akhirnya tak mampu lagi membiarkan pahlawannya menderita.
"Aku menyerah."
Dia mengulang kalimatnya, menjulurkan tangan, dan menerima tawaran sang iblis yang hina.
Dan seketika, kutukan bermula.
Tubuhnya bergetar hebat dan sembuh dari luka, jiwanya ditarik paksa: dia kembali nyata.
Angkasa mengamuk dan mencemooh sang wanita.
Bumi bergetar tidak terima.
Dan para Dewa di Surga menggelengkan kepala dengan kecewa.
Tapi, si wanita tak peduli pada mereka semua.
Dia harus pulang ke rumah, menemui sang pahlawan yang membutuhkan bantuannya.
Bangun dari tidurnya, sang wanita mencabut pedang yang harusnya menjadi batu nisannya.
Senjata suci itu bersinar dengan bahagia, siap untuk kembali menyelamatkan dunia.
Tersenyum menatap respons senjata suaminya, si wanita mulai melangkah.
Dan dalam satu langkah itu, dunia berubah.