Seorang wanita tampak kelelahan. Wajahnya yang kuyu menunduk, bahunya melorot. Ia mengembuskan napas panjang. Tangan kirinya mengelus tengkuk dengan malas sementara tangan lainnya memutar anak kunci dari luar pintu sebuah kamar. Setelah suara klik satu kali terdengar, ia menyeret kakinya ke kamar sebelah, membuka pintu dan mengempaskan tubuhnya ke kasur. Ia memanjakan sendi-sendinya yang nyeri setelah berkendara selama hampir empat jam.
Meski bukan dia yang menyetir, tetap saja dia merasa lelah. Lututnya kaku karena terus-menerus tertekuk. Bokongnya terasa panas seolah menduduki bara api. Padahal jok mobil yang didudukinya cukup empuk.
Angin sore berembus dari celah pintu kamar yang tak tertutup. Rasa dingin namun sejuk menelusup dari kakinya, merembet ke atas seolah ada tangan yang menggerayangi. Bau segar pegunungan membuat pikirannya yang sumpek perlahan santai. Ia berniat mandi agar rasa lelahnya sedikit terobati. Namun ketika teringat saat mencelupkan jarinya ke air tadi, tulang-tulangnya seolah menciut. Suhu air itu seperti es yang baru saja meleleh.
“Permisi,” kata sebuah suara dari depan pintu kamarnya. Sesosok lelaki rupawan berdiri di sana.
Dengan mata melebar, wanita itu bangkit. Ia terduduk di tepi ranjang, tampak terkejut. “Bagaimana kamu bisa keluar? Aku kan sudah menguncimu di kamar.”
Lelaki itu tersenyum lembut. “Nah, itu yang mau kutanyakan. Kenapa kau mengunci kamarku sementara aku masih di dalam?”
“A-aku cuma disuruh,” kata wanita itu tergagap. Dia menggapai-gapai apa pun yang dapat digunakannya untuk membela diri dari lelaki di depannya itu. Pasalnya, dia sudah diwanti-wanti rekan kerjanya bahwa lelaki itu amat berbahaya.
“Oh, ayolah.” Lelaki itu melangkah masuk. “Kenapa kalian memperlakukan aku seperti tahanan? Aku kan bukan seorang kriminal.”
“Tapi—“
“Kau keliru menilaiku.” Pria itu menghela napas panjang. Bahunya melorot lesu. Ia menunduk, wajahnya yang tampan tampak sendu. Beberapa kali dia mengerjap. Setitik bulir air mata menggenang di sudut pelupuknya. “Aku cuma sedang sakit.”
Melihatnya rapuh membuat wanita itu merasa iba. Dia tak tahu kenapa lelaki itu harus dikurung. Namun, dari pengalamannya sebagai perawat rumah sakit jiwa, dia tak boleh membantah perintah sang dokter. Pasalnya, dia tahu persis akibat dari melanggar perintah itu.
Pernah satu kali, dia diminta untuk memeriksa beberapa pasien yang telah selesai menjalani terapi menulis. Dia diharuskan memastikan tak satu pun pasien membawa benda-benda yang ada di sana ketika kembali ke kamar masing-masing. Namun saat itu ada seorang gadis yang memohon padanya supaya diizinkan membawa alat tulis ke kamar.
“Aku belum selesai menulis surat untuk ibuku. Please, Suster,” ratap gadis itu. Karena kasihan, dia meloloskannya. Keesokan harinya di kantin, seseorang harus dibawa ke unit gawat darurat gara-gara matanya tertusuk bolpoin hingga berdarah.
Waktu itu dia diam saja. Si gadis juga bungkam saat ditanya siapa yang memberinya bolpoin untuk menusuk pasien lain. Setelah kejadian itu, si perawat belajar menjadi tegas. Namun sayang, tak lama kemudian dia dipindah tugas.
Sayangnya lagi, baru dua hari bekerja di tempatnya yang baru, dia diminta untuk mendampingi seorang pasien pindah rumah sakit.
“Kami tadi mengundinya, dan namamulah yang keluar,” alasan mereka memilihnya.
“Tapi—“
“Dahlah, anggap saja liburan,” kata mereka menyemangati. “Toh, cuma sehari. Begitu sampai, besoknya kau bisa pulang dengan kereta.”
“Tapi—“
“Lagi pula, kau masih single, belum menikah. Masih muda pula, masih kuat menempuh perjalanan panjang.”
Dia tak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan manyun, dia membawa ransel yang diisi satu set pakaian, alat make up, dompet, charger, dan ponsel.
“Hati-hati,” kata salah satu perawat senior saat melepas kepergiannya.
“Terima kasih,” balasnya lesu. “Tapi seharusnya kamu bilang begitu pada orang yang menyetir.”
Senior itu malah memutar bola mata. “Bukan tentang jalanan. Tapi tentang cowok itu.” Dia menunjuk pasien lelaki yang masuk ke dalam mobil. Terlihat si pasien yang tengah membungkuk ketika melewati pintu mobil. Beberapa helai rambutnya jatuh dan menutupi dahi.
“Memangnya kenapa?” tanya wanita itu mengernyit. Sebagai perawat baru, ia belum pernah bertemu dengan pasien tersebut.
Sang senior meringis. “Meski tampan, kamu nggak boleh jatuh cinta padanya, lho, ya!”
Wanita itu tersenyum kecut. Ia rela bertukar tempat dengan sang senior. Dia malas berpergian jauh, apalagi menggunakan mobil. Bukan karena mabuk perjalanan, melainkan hanya malas saja. Membayangkan berjam-jam duduk dan melamun di dalam mobil membuatnya lelah. Dia tak mengerti kenapa pasien itu perlu didampingi perawat, padahal sudah ada seorang psikoterapis yang menyertai. Kenapa dia tak membawanya sendiri saja?
“Aku serius dengan ucapanku tadi,” bisik seniornya ketika sang wanita masuk ke mobil. “Pokoknya, kamu harus hati-hati.”
Si perawat duduk di jok penumpang, sedangkan pasien itu duduk di belakangnya. Dia heran dengan pengaturan ini. Pasalnya, kursi di sampingnya cukup longgar untuk badan lelaki yang kurus itu. Jok depan untuk penumpang pun juga kosong. Namun, ia tak berani membuka suara.
Perjalanan itu membosankan, dan minim percakapan karena dia tak mengenal baik pasien maupun dokternya. Beberapa kali si dokter membuka percakapan, namun hanya dijawab sekenanya olehnya.
Ketika si dokter menyatakan bahwa sebentar lagi mereka sampai tujuan, mobil yang dikendarainya mendadak berhenti. Rupanya bahan bakarnya habis. Karena berhenti di tengah gunung, sang dokter memutuskan untuk istirahat di sebuah penginapan. Perawat itu diminta mengunci pintu kamar si pasien dari luar. Dia tak sempat bertanya alasannya karena sang dokter segera pergi bersama pemilik penginapan untuk mencari penjual bensin eceran. Tetapi sekarang, si pasien tak terkunci di kamar. Ia duduk di sampingnya, tampak amat merana.
“Sejak kecil aku sering di-bully. Itulah sebabnya aku berbeda,” kata si pasien dengan suara parau. “Kamu tahu nggak, apa yang dikatakan dokter yang meninggal itu padaku?”
Wanita itu menggeleng.
“Tentu saja kamu nggak tahu," katanya menjawab pertanyaannya sendiri. "Kamu perawat baru, kan?”