Bab 2
Farida menengok spion mobil dengan gelisah. Ia memastikan sekali lagi bahwa tak ada kendaraan lain yang mengikutinya. Meski satu-satunya kendaraan di rumah dibawanya, bisa saja sang suami mengikuti dengan alat transportasi umum. Ia tak mau diikuti suaminya. Tidak sekarang setelah apa yang terjadi.
Wanita berambut lurus sepunggung itu menyeka air matanya yang menggenang. Dia tidak boleh meperlihatkan tangisnya kepada sang anak yang duduk di jok samping. Dia harus tampak kuat. Ia sudah bertekad untuk tidak menjadi sosok ibu yang lemah bagi Kanaya.
Kanaya masih berumur empat tahun. Namun, gadis cilik itu amat pandai. Ia sudah bisa, meski sedikit, membaca gerak bibir. Ia juga menguasai kamus SIBI meski belum sempurna. Setidaknya, anak itu mampu mengerti bahasanya.
Ya, Kanaya tuli. Ia tak bisa mendengar. Akibat dari kebodohan dan keegoisan Farida.
Farida berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya merupakan mantan kepala desa Bendosari, desa kecil namun asri di daerah Wonogiri. Letaknya di belakang gunung. Untuk ke sana orang-orang harus melalui jalan pegunungan yang berkelok-kelok.
Sejarah keluarga Farida panjang. Kakeknya, Wiji Harsono, merupakan seorang kepala desa. Jabatan itu diwarisinya dari sang buyut. Jika sudah puas menjabat, dia akan memberikan gelar Kades kepada Ongko, anak semata wayangnya, begitulah tradisi desa tersebut. Akan tetapi, nasib tak membiarkan hal itu terlaksana dengan mudah.
Pada tahun 1998, reformasi terjadi. Setahun kemudian undang-undang juga berubah. Kepala desa tak lagi menjadi jabatan seumur hidup. Wiji tak dapat seenaknya menyerahkan jabatan itu kepada putranya. Bahkan, dia juga dipaksa meletakkan jabatan yang sudah lama dipangkunya itu segera, saat dirinya belum merasa puas.
Selama ini Wiji menikmati pandangan orang-orang yang hormat kepadanya. Apalagi ketika dia berbicara, orang-orang akan menunduk, mendengarkan ucapannya dengan khidmat. Namun, seandainya Wiji tak menjabat Kades lagi, dia takut mereka tak akan mengacuhkannya. Ia takut mereka menganggap Wiji hanyalah orang tua biasa. Padahal, dia bukan orang biasa. Dia cucu orang penting. Kakek buyutnyalah yang memberi nama desa itu.
Nama Harsono berperan penting dalam sejarah terbentuknya desa itu. Dia tidak rela tahta Kades lepas begitu saja dari nama besar Harsono. Maka, untuk mencegah kehancuran nama besar keluarganya, Wiji mengajukan Ongko menjadi calon Kades baru. Meski begitu, dia harus bekerja keras untuk menjadikan anaknya Kades. Pasalnya, semua keputusan kini ada di tangan warga. Apalagi, Ongko bukan satu-satunya calon kepala desa.
Saingan yang paling berat waktu itu adalah Rudi. Umurnya sama dengan umur Ongko. Tetapi, pikirannya jauh lebih maju. Program yang dijanjikannya ketika kampanye juga menarik simpati warga.
Salah satu program unggulannya adalah penyejahteraan manula. Warga yang sudah tua diberinya sembako dan dana sosial setiap bulan. Karena banyak orang tua di sana, tak pelak ia mendapat banyak dukungan.
Melihat hal itu membuat Wiji ketar-ketir. Ia bertekad anaknya harus menang. Peruntungannya ternyata belumlah habis. Ketika akan memasuki masa tenang kampanye, skandal Rudi terungkap.
Rupanya dia memiliki tujuan lain dalam program yang selama ini diunggulkan. Bahkan, ia memiliki niat busuk. Menyejahterakan para manula adalah kedoknya untuk menutupi hubungan terlarang dengan anak gadis mereka. Hal itu diperkuat ketika Marni—salah satu anak janda yang diberinya rumah, pakaian, dan bahkan uang—ketahuan mengandung.
Terungkapnya skandal itu membuat koran meliput.
Tanpa mengelak dan tanpa membela diri, Rudi mengundurkan diri. Sang janda dan anaknya diusir. Mereka dianggap mencoreng nama baik desa. Akhirnya, Ongko sebagai calon tunggal memangku jabatan sebagai kepala desa.
Terpilihnya Ongko menjadi kepala desa membuat Wiji yakin bahwa kekuasaan kembali berada di tangannya. Namun, dia keliru. Ongko tak sebodoh dari apa yang dia kira. Ambisi sang anak sebesar ambisinya.
Pada masa jabatannya sebagai Kades, acapkali Ongko bertengkar dengan Wiji. Ia sering mengambil kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan kehendak sang ayah. Dia juga menolak ketika Wiji memintanya untuk menjadikan sang paman sebagai perangkat desa. Dia lebih memilih pemuda yang dianggapnya mampu mengemban tugas dengan baik, serta memberinya inovasi-inovasi baru dalam membangun desa. Dia ingin membuktikan kepada warga bahwa dia mampu menjadi seorang pemimpin, bukan hanya boneka sang ayah.
Sayangnya, selama lima tahun menjabat, Ongko belum bisa memberi dampak nyata bagi desa. Meski begitu, ia tak menyerah. Ia kembali mencalonkan diri.
Ketidakpatuhan Ongko membuat Wiji geram. Pada pemilihan tahun 2004, dia ingin menunjukkan kepada sang anak apa itu arti pemimpin. Menurutnya, Ongko terlalu lembek. Maka, dia mengajukan calon yang nantinya bersedia menjadi boneka.
Saking kepenginnya kembali memimpin desa, Wiji menggunakan cara kotor. Dia membagikan uang kepada warga yang bersedia memilih calonnya. Dia juga berjanji akan memberikan sembako ke semua warga jika calon yang diajukannya menang. Ketika pemilihan dilakukan, tak pelak lagi calonnya menang.
Meski kecewa, Ongko berusaha menerima dengan lapang dada.