The Rose Society

Mizan Publishing
Chapter #3

3. Adelina Amouteru

Ironi kehidupan ini adalah,

orang-orang yang mengenakan topeng sering kali mengungkapkan lebih banyak kebenaran,

daripada orang-orang dengan wajah sebenarnya.

—Masquerade, oleh Salvatore Lacona.

Dia tidak bereaksi ketika kami memandangnya. Alih-alih, dia bersandar malas-malasan di dinding dan mengambil kecapi yang tadinya terikat di punggungnya. Dia memetik beberapa senarnya dengan termenung, seolaholah sedang menyetemnya, kemudian mengenyahkan topeng dottorenya sambil menggerutu tak sabar. Lusinan kepang panjang dan gelap jatuh di bahunya. Jubahnya longgar dan setengahnya tidak dikancingkan. Barisan gelang emas menghiasi kedua lengannya, tampak cerah di kulitnya yang berwarna cokelat gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan cukup jelas, tetapi bahkan dari sini pun, aku bisa melihat bahwa matanya berwarna madu pekat, dan tampak berkilau dalam suasana malam. “Dari tadi aku mengawasi kalian berdua berjalan di keramaian,” lanjutnya, dengan senyum licik. Pandangannya teralih pada Violetta. “Mustahil mengabaikan orang sepertimu. Jejak patah hati yang kau tinggalkan pastilah sangat

panjang dan penuh bahaya. Tapi, aku yakin para pelamar akan terus bertekuk lutut di hadapanmu, mengharap kesempatan untuk memenangkan hatimu.”

Violetta mengernyit. “Maaf?”

“Kau cantik.”

Wajah Violetta merona merah. Aku melangkah lebih dekat ke balkon. “Dan siapa kau?” seruku pada orang itu.

Nada-nada kecapinya berubah menjadi lagu ketika dia bermain dengan sungguh-sungguh. Nada itu mengalihkan perhatianku—meskipun sikap orang itu serampangan, dia bermain dengan baik. Keahliannya itu menghipnosis. Dulu, Violetta dan aku biasa bersembunyi di dalam rongga-rongga pepohonan di belakang rumah lamaku. Setiap kali angin meniup dedaunan, muncul suara yang mirip tawa di udara, dan kami biasa berkhayal bahwa itu tawa para dewa yang sedang menikmati siang di musim semi yang sejuk. Musik orang misterius ini mengingatkanku pada suara tersebut. Jari-jarinya menelusuri senar-senar kecapi dengan mulus, lagunya mengalun alami bagaikan matahari terbenam.

Violetta mengerling padaku, dan aku sadar orang itu tepat sasaran.

Dia bisa memikatmu untuk jatuh dari tebing dan tercebur ke laut dengan musik kecapinya.

“Dan kau,” kata pemuda itu di antara alunan lagu, mengalihkan perhatiannya dari Violetta kepadaku. “Bagaimana kau melakukannya?”

Aku berkedip ke arahnya, masih terpaku. “Melakukan apa?” sahutku.

Dia berhenti bermain dan memandangku dengan kesal. “Oh, demi para dewa, berhentilah bersikap polos.” Suaranya tetap santai selagi dia terus bermain. “Kau jelas-jelas seorang Elite. Jadi. Bagaimana kau melakukannya, dengan sulur-sulur darah dan pisau tadi?”

Lihat selengkapnya