The Rotate

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #27

As Always, Senyum dan Mata Sendu

Bodoh! Kau ingin bersamanya tapi memberinya tawaran untuk menjauh.

*****



Bintang menyenderkan kepalanya di tepi kasur dengan kamar yang gelap gulita. Rambutnya bergoyang-goyang pelan terkena angin setelah hujan dari jendela yang terbuka. Tak ada air yang turun lagi dari langit, begitu juga di matanya, sudah mengering tapi masih memerah.

Dia ingin ke bukit. Dia ingin keluar. Dia ingin menghilang di antara gelap malam. Dia ingin kembali, pulang. Bintang mengusap matanya. Menahan itu semua.

Gawai yang masih ada di dalam tas sling bag-nya bergetar. Bintang menoleh ke asal suara tapi tak berniat menghampirinya. Dia hanya menatapnya dengan pandangan nanar sampai gawai itu kembali diam lalu bergetar lagi untuk beberapa saat. Bintang masih tak memperdulikannya. Nyatanya menonton gawai itu lebih seru dari pada menanggapinya. Hingga getaran ke-6, keseruan itu menghilang.

"Halo," ucap Bintang pelan, sangat pelan.

"Halo Bintang! Kau belum tidur, kan? Aku takut kau sudah tidur karena tidak kunjung menjawab teleponku sejak tadi." Suara seorang laki-laki berujar dengan rasa semangat yang kentara.

"Tidak," jawab Bintang. Masih sama pelannya dengan sebelumnya.

"Aku sekarang ada di depan rumahmu."

Pandangan Bintang segera mengarah pada jendela yang terbuka, angin meniup hordengnya. Kaki Bintang melangkah pelan dengan ekspresi bingung sekaligus tidak percaya. Dilihatnya keluar. Radhit berdiri di depan pagar, melambai-lambaikan tangannya.

"Hai. Kau terkejut ya? Bisa kau keluar sebentar? Sebentar saja."

"Apa?" Tanya Bintang pelan, lebih pelan dari sebelumnya hingga Radhit tak bisa mendengarnya.

"Kau keluar diam-diam ya! Bayangkan saja seperti kau akan pergi ke bukit. Bedanya sekarang aku di sini, menemanimu. Ayo keluar, cepat!" pinta Radhit lembut, seakan membujuk seorang anak kecil untuk berhenti menangis. "Ayo!"

Untuk sesaat Bintang terdiam dan hampir menggelengkan kepala. Tapi kemudian dia melihat sekeliling kamarnya lantas berpikir, dia membutuhkan bukitnya untuk pulang. Agar tidur nyenyak.

Bintang mematikan panggilan telepon, melemparkan gawainya ke kasur, lantas memakai sepatu, melewati jendela dan menghampiri Radhit dalam langkah diamnya.

Radhit terkekeh ketika Bintang sudah ada di hadapannya dengan langkah yang mulus. "Jadi seperti itu kau keluar rumah diam-diam? Handal juga. Nah sekarang ayo pergi." Radhit menarik tangan Bintang, membawanya ke suatu tempat dengan langkah agak cepat.

Bintang ingin bertanya, apakah Radhit benar-benar akan membawanya ke bukit? Tapi mulutnya enggan terbuka. Matanya terpaku pada tangan yang menggenggamnya, kadang mengamati punggung Radhit.

"Aku akan membawamu ke suatu tempat. Jadi diam saja dan kau menurut saja!"

Hampir saja Bintang tertawa mendengar kalimat itu. Dia tidak mengatakan apapun sejak tadi. Belum berbicara sama sekali tapi Radhit malah menyuruhnya untuk diam. Anehnya matanya kembali memerah bersamaan dengan rasa humor yang menghilang dalam dirinya. Dalam setiap langkah menurutnya.

"Nah, kita sudah sampai!" Seru Radhit.

Bintang melihat sekeliling dan tempat ini bukanlah bukitnya. Taman, ini taman di dekat rumahnya. Raganya sedikit kecewa. Tapi kemudian Radhit menarik tangannya lagi, menuntunnya untuk duduk di ayunan.

"Nah duduk di sini!" suruh Radhit. "Aku akan duduk di sebelah." Radhit terduduk di ayunannya.

“Kau tahu kenapa aku membawamu ke sini? Kau bisa kan, menjadikan taman ini sebagai pengganti bukitmu. Setidaknya di sini dekat dengan rumahmu dan kau bisa telpon aku jika ingin ku temani. Suasana di sini juga sejuk atau karna habis hujan saja?” Radhit mendongak, melihat Bintang yang masih berdiri. “Ayo duduk! Kenapa berdiri terus?”

Lihat selengkapnya