Barangkali siang hanyalah cara langit menghangatkan sepi. Selepas pagi berlari dari gelap yang sunyi. Meski nanti akhirnya kembali lagi, pada sepi.
Rohmatikal Maskur
*****
Hujan, hari ini ribuan tetesnya sudah menyambut pagi yang seharusnya cerah. Matahari, hari ini sinarnya hanya dapat mengintip dengan malu ingin melihat apa yang terjadi di bawah sana kini atau seterusnya. Gelap, hari ini langit begitu gelap tertutupi berbagai ukuran domba hitam berterbangan. Petir, suaranya kadang menggelegar, membuat siapa yang mendengarnya terkejut. Namun tidak bagi gadis yang sedang memejamkan matanya, menikmati tiap detik alunan musik dari earphone-nya. Bertopang dagu, sesekali melanjutkan sketsanya dan sesekali melihat ke arah luar jendela.
Ia ingin berlari, melompat dan menari di bawah sana, di bawah ribuan tetes hujan. Tapi kini gadis itu sedang terisolasi di sebuah kerajaan di bawah pimpinan maha gurunya yang dapat datang kapan saja setelah lonceng dibunyikan. Gadis itu tidak mau mendapatkan amarah dari para maha gurunya karena melihatnya bermain hujan dan membuat seragam kebanggaannya basah diguyur hujan.
Bel berbunyi, namun gadis itu tidak dapat mendengarnya karena volume earphone yang dipasangnya terlalu tinggi. Teman-teman sekelasnya segera masuk, menempati kursi masing-masing, merapikan penampilan mereka, dan mengeluarkan buku dan alat tulis di atas meja masing-masing. Seorang guru perempuan masuk diikuti dengan seorang siswa di belakangnya.
“Selamat pagi,” sapa seorang guru, Bu Ziah.
“Pagi,” jawab mereka serempak.
Kecuali gadis itu, ia masih melakukan aktivitas yang sama sejak tadi, bertopang dagu, memejamkan mata, menikmati alunan musik dari earphone-nya, sesekali melanjutkan sketsa yang dibuatnya dan sesekali melihat keluar jendela. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui keberadaan gurunya yang kini menatapnya.
Sunyi, sepi hanya ada suara detik jam berdetak dan suara hujan yang masih turun di luar sana. Seluruh penghuni kelas ini tidak mengerti, mengapa guru yang kini sedang berdiri tidak juga berbicara lagi. Mereka mengikuti arah pandangan guru itu dan tertuju pada gadis yang sedang duduk manis di kursi terdepan di bagian pojok dekat jendela yang langsung mengarah pada pemandangan hujan di luar sana dan kini semua mata tertuju padanya termasuk siswa yang berdiri di samping guru itu.
“Gadis hujan? kalau tidak salah gadis manis itu yang kemarin bermain hujan di taman, kan? Benar, tidak salah lagi. Gadis itu pasti dia,” batin seorang siswa yang kemarin memperhatikan sosok gadis itu diam-diam dari luar masjid dan kini berdiri di samping guru perempuan itu.
“BINTANG!!!” teriak Bu Ziah yang tidak lain adalah wali kelas XI IPS 2 dan berhasil membuatnya terkejut mengalahkan petir di luar sana yang sudah beberapa kali menggelar.
Ya! Namanya Bintang, hanya satu kata dan satu doa bahwa dirinya dapat menyinari orang-orang di sekelilingnya dalam kegelapan, dalam kekelaman, dalam kalutnya malam. Itu mimpinya sekarang dari berpuluh-puluh mimpi yang sangat ambisius untuk diwujudkannya.
Sekarang gadis manis dengan poni panjangnya yang dikepang daun ke arah kiri itu hanya diam, karena dalam sejarahnya baru kali ini ada seorang guru yang meneriakinya. Ia segera melepas earphone yang terpasang di telinganya dan memasukkan earphone-nya ke dalam tas.
“Maaf Bu!” ucap Bintang seraya menunduk.
“Pakai kacamatamu, Bintang!” perintah Beliau tegas. Bintang segera memakai kacamatanya. Ia mengernyitkan dahi saat dilihatnya seorang siswa yang tidak dikenalnya berdiri di depan yang kini juga memperhatikannya.
“Tang, dia ganteng ya,” ucap Amel, sahabatnya yang duduk di belakangnya seraya menyentuh pelan punggung Bintang dengan pulpen.
Bintang tidak merespon, ia masih menatap siswa baru tersebut.
“Tang! Sejak tadi dia masuk, dia memperhatikan kamu tahu,” tambah Amel.
Bintang masih tidak merespon, kini tatapan keduanya saling bertemu. Tatapannya saling berkata ‘siapa dia?’.