The Rotate

Tiara Khapsari Puspa Negara
Chapter #9

Tragedi Free Class

Ada yang bilang bahwa lembaran hidup yang tergores harus dibuang layaknya sampah. Namun mengapa ingatan memungutnya kembali?

*****


Apalagi yang bisa diharapkan dari siswa-siswi SMA Garuda Tangguh, sekolah dengan sistem full day school. Ditambah dengan tugas yang tidak pernah absen. Bahkan saat liburan setelah ulangan akhir semester ganjil pun tugas masih saja setia datang. Selain free class yang kadang datang menolong. Walaupun terkadang diisi dengan tugas yang diberikan oleh guru piket. Tapi tidak untuk free class hari ini. dua jam pelajaran ditambah tidak ada tugas yang diberikan, ya jadilah kelas yang gaduh bukan main.

Mengobrol, menonton film dari laptop, bermain sambung lagu, bermain kartu werewolf bahkan membuat permainan sendiri seperti ABC lima dasar yang ditambah dengan menyebutkan satu fakta dari nama yang ditentukan pemain berdasarkan huruf abjad yang terpilih dan jika tidak bisa menjawab maka hukumannya truth or dare. Jadi walaupun berhasil menyebutkan nama sesuatu berdasarkan abjad yang terpilih, tapi tidak dapat menyebutkan satu fakta dari nama tersebut maka tetap mendapat hukuman. Yah! Permainan itu sih hasil kreatif anak laki-laki sekaligus dapat menambah ilmu pengetahuan. Mungkin karena tidak diperbolehkan membawa gawai dengan alasan mengganggu kegiatan belajar mengajar, jadi lahirlah permainan anak kecil yang sedikit dikembangkan level permainannya.

“Ayo! nama-nama negara ya! Boleh apa aja. Nama ibu kotanya, presidennya, mata uangnya, bahasanya, sumber daya alam dan bahan tambangnya, sekalian golongan bahan tambangnya termasuk golongan A, B, C juga boleh. Oh iya jumlah penduduknya juga boleh, itu juga kalau kalian tahu,” ajak Satria seraya tertawa di akhir kalimatnya.

“Ehhhhh! Memangnya ini pelajaran geografi? Pakai jumlah penduduk dan sampai menggolongkan bahan tambang segala. Sekalian saja itu terestrial atau akuatik, dapat diperbarui atau tidak dapat diperbarui atau gabungan, biotik atau abiotik,” timpal Ardan. “Udah ah! Ayo cepat kita mulai.”

“ABC lima dasar,” ucap serentak semua pemain.

“A, B, C, D, E, F, G, H, I,” hitung salah satu pemain dan berakhir di huruf I.

“Indonesia, dengan ibukotanya Jakarta, bahasanya bahasa Indonesia, mata uang rupiah, jumlah pulau terbesar ada lima. Lengkap tuh,” jawab Aro sangat puas.

“Inggris, dengan ibu kotanya London.”

“Irak, dengan mata uang Dinar.”

“India, dengan ibu kotanya New Delhi.”

“Italia, dengan ibukotanya Roma.”

“Yahhh! Tinggal berdua. Ayo cepat hitung mundur nih,” ucap Devan menakut-nakuti.

“Iran, mata uangnya Rial,” ucap Gilang. “Ayo tinggal Radhit. Hitung mundur nih!” tambahnya.

“Ehh! Tunggu. Israel, tapi gak tahu nama ibu kotanya, mata uang, atau bahasanya,” ucap Radhit mulai panik.

“10 9 8 7 6 5...” Yang lain mulai berseru kegirangan membuat Radhit semakin panik. “4 3 2 1 timeout.”

“Woii!” seru Radhit.

“Udah pilih aja truth atau dare?” tanya Dipa.

“Hmmmm...” Radhit mulai berpikir.

“Lama! Kita yang pilih nih.” Dika mulai tidak sabar.

“Eh Sabar!, aku pilih dare,” ucap Radhit. “ Eh! Salah truth saja deh.”

“Tidak bisa diganti,” senyum jahat nan jahil milik Satria mengembang “Dare-nya cubit pipi Bintang sampai merah?!”

Lihat selengkapnya