Menunggu dan kesendirian adalah musuh yang akan mengajarkanmu sebuah kesabaran
*****
Bulan sabit bersinar di gelapnya langit malam dengan ditemani bintang-bintang yang menjadi lengkapnya hiasan langit di malam hari. Seekor burung hantu bertengger di dahan pepohonan sendirian dengan lantunan musiknya yang terus bersenandung bersamaan dengan seruan jangkrik-jangkrik kecil di rerumputan. Helaan angin yang bertiup membuat orang yang dilaluinya harus mengeratkan jaketnya menghangatkan tubuhnya dari angin sehabis hujan dan semua hal tersebut sudah dilalui Bintang malam ini. Ya… dia baru saja kembali entah darimana malam-malam begini. Padahal kaki tangan jam menunjukan pukul dua belas malam.
Tiba-tiba gawai milik Bintang yang diletakan di atas nakas berdering, ada panggilan masuk. Bintang menoleh ke asal suara dan dengan perlahan, Bintang menutup jendela sehabis masuk melaluinya dan melangkah pelan meraih gawainya.
“Nomornya doang? malam-malam begini?” ujarnya. “Halo. Ini siapa?
“Ini Radhit,” jawab di seberang sana dengan singkat.
“Radhit?! Kamu mau apa menelpon malam-malam begini? Kamu dapat nomorku dari siapa?”
“Dari siapanya itu tidak penting.”
“Lalu, kamu mau apa malam-malam begini? Besok sekolah, harus bangun pagi. Sudah ya.”
“Hei tunggu! Lagi pula yang menyuruhmu untuk bangun siang siapa?” tanya Radhit yang tidak dipedulikan oleh Bintang yang langsung memutuskan panggilan dan menaruh gawainya kembali di nakas tempat tidur. Namun gawainya kembali berdering.
“Kamu mau apa sih? Aku mau tidur. Kalau cuma mau menggangu mending telpon orang lain saja.”
“Aku belum bicara apa-apa loh. Segitu mengganggunya?” Radht terkekeh.
“Iya! MENYEBALKAN! Terus kamu apa?” Bintang mulai kesal.
“Cuma kamu yang berasumsi kalau aku menyebalkan. Semua orang di kelas tidak ada yang pernah bilang seperti itu, mereka hanya bilang kalau aku tinggi buktinya kau hanya sebahu ku, kemudian aku tampan, bahkan sudah ada yang mengakui kalau aku pintar.”