Apakah kau mengizinkanku meluruhkan perputaran dalam hidupmu? Dan bersediakah jika aku nyalakan suar dalam hatimu?
*****
“Mau dijelaskan pelajaran apa dulu?” tanya Radhit setelah mereka sampai di cafe samping sekolah mereka.
Cafe ini memang sering sekali menjadi tempat hangout siswa-siswi SMA Garuda Tangguh. Baik itu sebagai tempat untuk melepaskan penat setelah seharian ditimbun dengan pelajaran. Tempat untuk mengadakan rapat atau kerja kelompok, maupun tempat untuk menunggu waktu les sambil makan siang. Tidak hanya dipenuhi siswa-siswi sekolah ini, banyak juga pelanggan yang berasal dari berbagai kalangan.
“Emmm! Matematika saja dulu deh. Dua jam pelajaran aku hanya bisa ternganga melihat Bu Tari menjelaskan,” jawab Bintang seraya melihat Radhit mengeluarkan buku catatan dan buku paket matematika yang disampul rapi dengan gambar matahari.
“Matahari?” tanya Bintang heran sambil menunjuk gambar tersebut. “Kenapa matahari?”
“Oh! Matahari itu arti namaku,” jawab Radhit singkat seraya mengangguk sopan kepada pelayan yang mengantarkan makanan mereka. “Ingat arti namaku baik-baik ya!”
“Bintang, Matahari, Bintang, Matahari,” tunjuk Bintang bergantian sesuai dengan nama yang ia sebutkan pada dirinya sendiri dan Radhit. “Kamu bohong ya?” tanya Bintang dengan mata menelisik.
“Untuk apa aku berbohong? Jika tidak percaya, kamu bisa lihat di internet.”
“Lalu kapan-kapan apa aku boleh memanggilmu Matahari? Kau bahkan memanggilku Star,” ucap Bintang seraya menyantap nasi gorengnya yang telah tersaji.
“Terserah saja. Yuk kita mulai.” Radhit mengangguk menyetujui permintaan Bintang “Nih, perhatikan! Ini fungsi komposisi. Diberikan fungsi f(x) = x2-1 dan g(x) = x+3 tentukan (fog) (x)! (fog) (x) sama dengan, nih karena f lingkaran g maka f-nya ditulis diluar kurung, jadi (fog) (x) = f (g(x))...,” ucapnya mulai menjelaskan pelajaran matematika.
Radhit menjelaskan dengan perlahan dengan respon anggukkan Bintang, tanda dia paham. Silih berganti dengan suapan makanan yang dipesan, mereka melanjutkan dengan penjelasan dan contoh soal. Silih berganti, melanjutkan dengan pelajaran lain. Silih berganti juga, pengunjung lain datang dan kemudian pergi. Ada kalanya Radhit menggaruk kepalanya mulai bingung bagaimana dia bisa menyederhanakan penjelasannya ketika Bintang tak kunjung paham. Sedangkan Bintang terkekeh dengan pertanyaan dibenaknya bahwa mengapa yang lebih pusing di sini Radhit dan bukan dirinya? Sampai tak terasa langit sudah gelap saja.
“Kenapa tidak dihabiskan saja nasi gorengnya?” ucap Radhit dan dengan malasnya menyantap nasi goreng milik Bintang yang masih tersisa setengah. Padahal sebelum menjemput Bintang di tempat lesnya, dirinya baru saja selesai makan dan kini setelah menghabiskan cemilannya, perutnya dipaksa untuk menerima makanan lagi.
Bintang hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia sedang berusaha konsentrasi menyalin contoh soal yang diberikan Radhit sambil berusaha memahaminya.
“Seharusnya tadi kau pesan roti bakar atau kebab saja yang porsinya lebih sedikit daripada nasi goreng ini.” Radhit dengan malasnya bertopang dagu dan masih berusaha untuk menyantap satu demi satu suapan.
“Aku kan lagi kepengen makan yang pedes-pedes,” ucap Bintang membela diri dan direspon dengan helaan nafas oleh Radhit.
“Yaudah, kenapa tidak pesan mie instan saja?”
“Eit, kebanyakan makan mie itu tidak baik.”