Setiap Beban punya alasan tersendiri untuk singgah dan menetap pada jalanmu.
*****
Seperti yang telah mereka sepakati, Bintang dan Radhit langsung menuju cafe yang terletak di samping sekolah, cafe yang sempat dijadikan tempat untuk Radhit menyatakan perasaannya tempo hari dan mereka berdua saling memandang ketika bertemu di depan cafe dengan tatapan canggung, merasa dejavu. Inilah yang aneh saat mereka pergi ke cafe. Alih-alih Bintang pergi bersama Radhit dengan motornya, Bintang malah pergi duluan. Lagi-lagi takut menimbulkan tanya anak-anak yang mengenal mereka saat melihat mereka pergi bersama. Sejak keributan yang ditimbulkan mereka di dalam kelas, entah kenapa Bintang jadi merasa overthinking.
Radhit yang mendengar usulan Bintang ini, hanya bisa memakluminya saja. Dirinya tidak mau skenarionya ini gagal hanya karena menolak usul kecil Bintang. Jika skenarionya gagal hanya karena hal sepele ini, entah harus bagaimana lagi dirinya bertindak. Radhit pun bingung kenapa gadis yang disukainya ini sangat mudah terbebani.
"Baiklah, langsung saja ya," ujar Radhit, memulai sesi tanya jawab ini setelah makanan pesanan mereka telah sampai semua.
Radhit sebenarnya berpikir hal ini sedikit lucu. Memang ada ya sebuah kesepakatan dimulai dengan sesi tanya jawab ini sebagai langkah pertamanya? Namun kalau bukan dengan cara ini, bagaimana ia bisa mengumpulkan kepingan puzzle agar memudahkannya untuk mencapai kemenangan dalam kesepakatan ini? Terlebih lagi dengan sifat tertutupnya Bintang. Pasti akan sulit baginya mencari tahu penyebab kebiasaan buruk Bintang.
"Dalam mengajukan pertanyaan tidak perlu sungkan-sungkan. Kau bisa bertanya apapun sebanyak yang kau mau agar memudahkan dirimu sendiri. Baiklah.” Radhit menghela napas “siapa dulu yang mau bertanya?" Dipikir sekali lagi hal ini mengingatkan mereka pada sesi tanya jawab dalam presentasi di kelas. It's gonna be a weird situation.
"Kau saja dulu," ujar Bintang sambil menyeruput milk tea-nya.
"Ya sudah, kalau begitu aku langsung saja, ya. Kenapa kemarin kau keluar di tengah malam menuju pagi buta itu? Apa memang itu sungguh kebiasaanmu?" Radhit bersiap menulis jawaban Bintang. Dia sudah seperti seorang pewawancara saja
Bintang menghela nafas, berusaha menguasai dirinya. Entah kenapa dalam kondisi seperti ini saja jantungnya sudah berdegup kencang.
"Aku melakukan hal itu karena aku membutuhkan tempat untuk menyendiri. Tempat dimana tidak ada seorangpun di sana. Hal ini kulakukan kalau aku dan setengah hatiku tidak bisa menyatu dan ya, itu memang kebiasaan burukku."
“Kenapa tidak di dalam kamar saja? Kau tinggal mengunci pintunya, kan?” Tanya Radhit dan hanya dijawab dengan sebuah gelengan kepala. "Dimana tempatnya?" tanyanya lagi seraya tangannya menuliskan poin jawaban Bintang di sebuah kertas.
"Di bukit dekat sini, di sana ada padang rumput …" Ucapan Bintang terhenti, pikirannya teringat sesuatu. Mengingatkannya pada mimpi mengerikan yang datang sebelum keributan di kelas pada hari itu terjadi. "...yang cukup luas" tambahnya.
"Sejak kapan hal itu terjadi?"
"Aku tidak ingat kapan tepatnya. Namun ada hal yang terjadi sehingga entah mengapa aku berlari tanpa arah dan tanpa aku sadari aku sudah ada di sana."
"Bintang, aku tidak tahu boleh menanyakan hal ini atau tidak. Tapi kau selalu menyebutnya. Apa maksudnya dengan setengah hati?"
Bintang terbelalak, tidak menyangka Radhit akan bertanya hal tersebut yang sekarang malah membuatnya berpikir keras.
"Aku selalu tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Setiap kali aku menjelaskannya pada seseorang, susunan kata yang aku ucapkan malah tidak bisa mereka mengerti." Bintang menunduk berusaha menjelaskan semampunya.