Foto tanpa piguranya bukankah sama saja dengan melecehkan momen yang tertangkap?
*****
"Ayo ke kamarku!" ajak Radhit setelah mereka sampai di rumahnya.
"Eh?!" Bintang yang tiba-tiba mendengar ajakan ambigu tersebut langsung terkejut, membuatnya tidak jadi duduk di sofa.
“Ayo cepat, Bintang!” ujar Radhit, membuat Bintang melongo menatapnya.
Radhit memutuskan untuk me-review pelajaran hari ini di rumahnya dengan tujuan agar dirinya bisa langsung menunjukan foto kedua orang tuanya pada Bintang. Setidaknya ada seseorang yang menemaninya mencari foto tersebut, jika tidak seperti ini Radhit tidak akan mau mencarinya. Dirinya terlalu takut menghadapi wajah kedua orang tuanya sendirian, walaupun hanya sekedar foto.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh Bintang." Radhit terkekeh melihat reaksi Bintang yang seperti itu, membuatnya menyentil pelan dahi gadis itu. "Bantu aku mencari fotonya. Ayo!"
Radhit menaiki tangga untuk sampai ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Kamarnya tepat terletak bersebelahan dengan kamar Kak Surya. Untuk saat ini rumahnya begitu sepi.
“Apa yang kamu pikirkan tadi? Yang aneh-aneh ya?” tanya Radhit dengan nada jahilnya.
"Hah? Apa? Bibi Hana dan Kakakmu ada di rumah, kan? Kenapa sepi sekali?" tanya Bintang gelagapan, berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Radhit tertawa mendengarnya.
Bintang mengikuti Radhit di belakangnya. Matanya menelusuri dinding-dinding rumah ini. Tidak begitu banyak foto yang terpajang, hanya ada sekitar 4 atau 5 foto dengan ditemani beberapa hiasan dinding. Matanya baru kali ini memiliki kesempatan menelusuri setiap sudut rumah ini. Di kunjungan pertamanya, Bintang terlalu sibuk memikirkan rencananya. Sedangkan di kunjungan keduanya, dia terlalu fokus pada setengah hatinya sehingga tidak melihat sekeliling.
"Mungkin Bibi sedang mengecek persediaan bahan baku atau urusan lain di tokonya. Sedangkan kakakku entahlah, mungkin di kamarnya, mungkin juga tidak. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya belakangan ini, bahkan kadang tidak sempat ikut makan malam bersama."
Radhit membuka pintu kamarnya. Bintang melihat tulisan 'MATAHARI' terpampang di pintu kamar itu dan bukannya disambut oleh suasana sebuah kamar yang disebut kamar, dirinya malah terkejut mendapati lantai kamar tersebut begitu dipenuhi barang-barang Radhit yang berserakan. Ya! ruangan ini malah lebih mirip gudang yang ada di rumah Bintang daripada sebagai sebuah kamar.
"Tidakkah kau belajar bagaimana cara merapikan kamar?" tanya Bintang dengan nada sedikit meninggi dan tatapan menggelikannya.
"Hei, memangnya ada yang salah dari kamarku?" Radhit malah melemparkan pertanyaan lagi, bukannya menjawab pertanyaan Bintang. “Aku tidak merasa ada hal yang perlu dirapikan di kamarku.”
"Kau tidak lihat barang-barangmu yang berserakan di lantai itu?"
"Memangnya kenapa? Sejak awal tempat mereka memang seperti itu. Di antara benda itu tidak ada yang salah tempat. Ayolah! It’s not a big deal."
"Oh! Benarkah?" Bintang menggeram kesal. Berdebat dengan Radhit memang tidak akan membuatnya menang.
Tanpa aba-aba apapun, tiba-tiba saja Bintang melepaskan tasnya, masuk ke kamar Radhit, langsung membersihkan kamar tersebut. Menaruh barang-barang yang berserakan di lantai ke tempat yang dirasanya benar, mengumpulkan baju-baju yang berserakan dan dengan kasar menyerahkannya pada Radhit, menyuruhnya untuk menaruh baju-baju kotor itu ke keranjang cucian. Diakhiri dengan cekatannya Bintang menyapu lantai.