Senang ya melihat 'matahari' tertelan bulat-bulat oleh horizon?
*****
"Ternyata walaupun mereka tidak memiliki orang tua, mereka masih bisa bahagia seperti itu ya? Aku tidak menyangkanya, apalagi Gilang. Dia sungguh anak yang ceria." Radhit akhirnya memulai percakapan sejak mereka meninggalkan panti asuhan itu.
Bintang yang sedang berjalan di depannya sambil menunduk menoleh mendengar ucapan Radhit barusan. Sejak tadi pikirannya masih saja dipenuhi kisah yang diceritakan Radhit dan kini senyum menghias wajahnya setelah dirinya mendengar ucapan tersebut.
"Ya begitulah. Mereka selalu bersyukur dengan apa yang mereka miliki. Tidak seperti kau." Senyum menyindir terlukis di wajah Bintang. Dirinya kembali menatap ke depan, tetap berjalan di depan Radhit.
Dan juga aku, batinnya berkata.
“Enak saja. Kapan aku seperti itu?” tanya Radhit dengan nada meledeknya walaupun dalam hatinya dia merasa bahwa dirinya memang seperti itu. Dia hanya berusaha mengalihkannya saja.
"Oh ya? Cukup ‘sering’ kan? Mereka itu tidak pernah berekspektasi pada kehidupan selain hanya sekedar imajinasi yang mereka taruh di balik bantal. Itu sebabnya mereka tidak pernah berharap, selain harapan besar mereka mengenai kapan waktu mempertemukan mereka dengan orang tua asuh yang tulus. Berkat hal itu mereka tidak pernah dikecewakan oleh ekspektasi yang terlalu tinggi. Mereka hanya menunggu dan membiarkan alur memutarkan kehidupan mereka," gumamnya pelan, tapi cukup terdengar oleh pendengaran Radhit.
"Kalau orang tua asuh tidak akan pernah datang pada mereka, bagaimana? Bukankah sama saja dengan dikecewakan oleh ekspektasi atau harapan mereka?" Suara sinisnya sangat terdengar jelas di telinga Bintang, membuat Bintang tertawa sekilas dan memperlambat langkahnya untuk menyamai langkahnya dengan Radhit.
"Bukankah mereka masih bisa menulis kisah cinta mereka dan akhirnya menjadi sosok orang tua? Aku yakin mereka bisa menjadi sosok orang tua yang sangat bertanggung jawab dan penuh kasih terhadap anak-anak mereka." Senyum manis itu kembali ditunjukan Bintang, kali ini senyum manis dengan sebuah ketulusan di dalamnya. Tanpa rasa sendu sama sekali.
Mendengar hal itu dan melihat senyum Bintang barusan membuat Radhit menghentikan langkahnya. Kedua matanya menatap sosok Bintang yang masih berjalan. Tatapannya nanar, pikirannya sedang bekerja.
"Oh iya, ada yang ingin aku kat…"
"Kalau memang seperti itu, bukankah sudah waktunya aku mengakui bahwa tindakanku terhadap keluargaku itu salah?" potong Radhit, seketika menenggelamkan ucapan Bintang. Dirinya menundukkan kepala dan kedua tangannya terkepal. Buku-buku tangannya tergurat jelas.