Kau tidak perlu mencatat semuanya dan kemudian kau susun seperti skenario Radhit, ini bukan film. Ini hidup!
*****
"Kenapa ekspresimu seperti itu? Baru pertama kali ya melihat diriku yang seperti ini? Marah-marah pada gadis yang beberapa kali aku tawarkan untuk kunyalakan suar di dalam hatinya." Radhit memalingkan wajah. Amarahnya sudah mencapai puncak hingga membuat wajahnya memanas. “Pada gadis yang aku sukai. Pada gadis yang menolak semua tawaranku dengan mentah-mentah kecuali kesepakatan ini dan sialnya malah dirimu yang menang.”
"Apa yang terjadi padamu Radhit? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?"
"Kau mau tahu aku kenapa? Aku mengaku kalah. Kau dengar ucapanku? Aku telah mengaku kalah terhadap kesepakatan yang kita buat. Tidak! Tepatnya pada kesepakatan yang aku buat sendiri, yang aku susun sendiri. Yang membuatku bingung adalah aku terus saja bertanya banyak hal padamu. Bertanya ini, mencari petunjuk itu. Tapi aku sama sekali tidak bisa menemukan jalannya, jalan untuk mengubahmu. Sialnya lagi, aku selalu terjebak dengan sikap-sikapmu yang selalu berubah-ubah, sikap-sikapmu yang terus membuatku kebingungan. Sedangkan kau hanya bertanya satu hal saja. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau lakukan semuanya hanya dengan mendapatkan jawaban dari satu pertanyaanmu? Apakah memang aku yang bertanya terlalu banyak, hingga jawaban yang kau berikan meluap-luap di otakku? Ini aneh sekali." Dirinya menatap rumput dengan nanar, napasnya masih menderu.
"Radhit.” Bintang menghela napas “Sebenarnya apa yang membuatmu marah? Kekalahanmu atau dirimu sendiri yang tidak bisa menerima apa yang berhasil ku ubah? Mulutmu berkata kau mengaku kalah, tapi sikapmu tidak. Kenapa?"
Mendengar pertanyaan itu membuat sikap Radhit semakin geram. Dirinya mendengus kesal. Entah apa yang ada di dalam dirinya, hingga ia mampu berbicara dengan nada tinggi sejak tadi di hadapan gadis yang disukainya, gadis yang selalu membahas setengah hatinya, terkutuk bersama setengah hatinya.
"Kau masih belum mengerti juga? Coba jawab aku! Kenapa kau hanya butuh satu pertanyaan? Kenapa kau hanya butuh satu jawaban? Bahkan jawaban yang aku beri terkesan tidak serius. Kenapa?"
"Jawabanmu memang terkesan tidak serius untuk didengar. Kau mengatakan bahwa bermain judi bagimu merupakan upaya mengasah kemampuan menghitung frekuensi suatu kejadian, mengasahmu dalam menentukan arah takdirmu sendiri. Mungkin terlihat tidak ada kaitannya sama sekali dengan upayaku untuk mendekatkan kau kembali dengan keluargamu." Kali ini Bintang tidak kalah geramnya, bahkan dirinya mati-matian menahan kedua matanya untuk tidak memerah. Marah-marah seperti ini bukanlah keahliannya.
"Namun yang kulakukan adalah mencari akarnya. Aku hanya fokus pada kebiasaanmu yang selalu menghitung frekuensi suatu kejadian yang mana pemicunya adalah dirimu sendiri yang membenci orang tua dan sisa keluarga yang dimiliki sehingga tidak mempercayai takdir lagi. Dengan kata lain, jika aku berhasil mendekatkan kembali dirimu dan membuatmu tidak membenci orang tuamu, maka aku bisa membuatmu kembali mempercayai takdir. Sehingga dirimu tidak lagi menggunakan metode menghitung frekuensi suatu kejadian untuk bertindak, yang mana sama dengan membuatmu tidak bermain judi lagi. Sedangkan kau! Kau tidak hanya fokus pada kebiasaan burukku dan setengah hatiku. Tapi memaksaku untuk bercerita itu, memaksaku untuk bercerita ini. Membuat pikiranmu terbagi, bahkan hingga bercabang-cabang yang membuat kau sendiri tidak bisa menghentikannya untuk tidak tumbuh dalam kepalamu."