Aku hanya gadis candala yang bertaruh nyawa pada sepi dan nelangsa. Telah diam selama 156 purnama namun masih saja tak jua bisa mengubah rasa melati menjadi nyata.
*****
"Nih!" Bintang menyodorkan es krim miliknya yang tersisa setengah cup pada Radhit.
"Apa? Untukku?" Radhit mengerutkan alisnya bingung, padahal es krim miliknya juga masih tersisa, dia sedang berusaha untuk menghabiskannya juga. Bintang menjawab dengan anggukan sambil kembali menyodorkan cup es krimnya. "Kenapa tidak dihabiskan saja? Es krim ku saja belum habis, masa datang es krim satu lagi. Lagian porsinya cuma sedikit loh."
Kali ini Bintang menggeleng, tetap tidak mau menghabiskan es krimnya. Sepertinya Radhit masih belum terbiasa dengan sifat Bintang yang hanya bisa makan sedikit ini. Padahal hal seperti ini sudah sering terjadi di antara mereka.
"Ya sudah, kita duduk di bangku taman saja dulu. Kau habiskan pelan-pelan saja ya. Ayo!" Radhit melangkahkan kakinya duluan, mengarah ke salah satu bangku taman yang masih kosong. Bintang yang terdiam mengikutinya dari belakang.
Hari ini Bintang tengah mengabulkan permintaan Radhit yang diajukan saat hari ulang tahunnya di bukit pada malam itu. Dirinya meminta Bintang untuk bersedia berjalan-jalan ke taman kota sebagai pengganti jalan-jalan yang tempo hari gagal karena mood gadis ini mengganggunya atau mungkin sebagai penyembuh suasana hatinya setelah dirinya mengaku kalah? Entahlah, hanya Radhit yang tahu akan niat yang ada di dalam hatinya.
Ada begitu banyak kuliner yang dijual di sepanjang jalan yang mengelilingi taman ini. Taman kota ini begitu luas yang sering kali digunakan untuk berolah raga, mengajak hewan peliharaan jalan-jalan, bermain bersama keluarga atau hanya sekedar jalan-jalan seperti yang dilakukan Bintang dan Radhit sekarang. Tidak hanya itu, saat malam hari ada begitu banyak lampu yang berbentuk seperti lentera dipasang di setiap stand street food. Bahkan ada pertunjukan cahaya di tengah-tengah taman setiap jam 8 malam, menghias suasana pada malam hari.
"Habiskan pelan-pelan saja. Ini bukan lomba makan es krim kok," ujar Radhit, seraya menyuapkan es krim ke mulutnya. "Atau mau aku suapin? Sini! Aku akan dengan senang hati melakukannya." Senyum jahil terbentuk di wajahnya, berusaha membuat gadis ini membantahnya dengan omelan seperti biasa.
Namun Bintang terdiam, tidak menanggapi kalimat jahil Radhit barusan. Pandangannya nanar dengan terus fokus melihat ke depan. Es krimnya masih teronggok tak tersentuh di tangannya, mulai meleleh, meluncur mengenai kulit.
Radhit yang tidak mendapatkan respon apapun menoleh menatap gadis itu. Kalau dipikir-pikir lagi, Bintang kembali menjadi pendiam di sepanjang hari ini. Memikirkan hal itu, dirinya tidak akan membiarkan sesi jalan-jalan ini tidak berjalan lancar seperti tempo hari saat setelah mengunjungi makam kedua orang tuanya bersama Bintang.
Tangannya terulur, mengusap pelan kepala Bintang. Apakah pikirannya penuh dengan setengah hatinya lagi? batinnya bertanya.