Jika ada sebuah bulan dan bintang bersanding, mana yang akan kau pilih?
*****
Di tengah padamnya lampu kamar, Bintang menatap langit-langit kamarnya yang sedikitpun tidak menampakkan apapun selain kegelapan. Kamarnya begitu hening, bahkan tidak terdengar suara detik jam pun yang berdetak dalam kekelaman kamarnya.
Kepalanya terpangku di pinggir ranjang, menatap ke atas dengan air yang menggenang di kedua matanya. Sedangkan tubuhnya tergeletak di lantai, membiarkan suhu dinginnya menjalar ke setiap hamparan kulitnya. Tiba-tiba suara tawa yang kecil terdengar dari mulut Bintang. Nada perih tersembunyi di baliknya. Otaknya sedang memutar ulang kejadian hari ini.
Aku hanya gadis candala yang bertaruh nyawa pada sepi dan nelangsa. Telah diam selama 156 purnama namun masih saja tak jua bisa mengubah rasa melati menjadi nyata. Sampai-sampai harus menjual jiwa untuk berbisik pada adiwangsa yang duduk di takhta kenanganya dan kelak nanti, akan ada yang menagih hutang padaku. Terkutuk sudah raga ini, tak bisa lagi disinari oleh matahari dan akan terus mengabdi pada rembulan di langit malam. Sekali kau bisa menyiram sinar matahari padaku, akan ada keserakahan bersarang. Maka akan lebih baik rasa gamang yang bersarang daripada rasa keserakahan itu sendiri. Biarkanlah seperti ini hingga waktu hidupku berhenti, Radhit.
"Bolehkah aku mengucapkan susunan kata yang seperti itu padanya? Bukankah susunan kata itu sudah seperti puisi gelap? Memangnya dia akan mengerti jika mulutku mengucapkan kata-kata seperti itu? Aku bahkan tidak bisa mengerti dengan diriku sendiri, lalu bagaimana dia akan mengerti? Seharusnya hal seperti itu tidak ku lakukan kepada seorang ksatria," gumamnya pada keheningan malam yang menguncinya di dalam kamar.
Pergelangan tangannya terulur, menutupi matanya sendiri, membuat air yang menggenang tadi tumpah. Berusaha untuk tidak melihat potongan-potongan ingatan yang muncul, walaupun ia tahu hal yang dilakukannya itu adalah kesia-siaan.
"Heiā¦ bolehkah aku peduli pada hal seperti itu?" tanyanya entah pada siapa, kamarnya terlalu sunyi untuk memberikan sebuah jawaban.
Kalau kau peduli, tidak seharusnya kau bicara seperti itu padanya. Suara itu berbisik di telinganya, begitu dekat dengan wujud gadis ini, si setengah hatinya.
"Benarkah? Untuk pertama kalinya pemikiranku sama seperti setengah hatiku. Lucu sekali." Senyum kecut tergeletak begitu saja dia wajahnya.
Tiba-tiba gawai yang terletak di samping kepalanya bergetar, ada pesan masuk. Bintang membukanya, sebuah pesan yang datangnya dari negeri matahari.
Radhit :
|Bintang|
|Maaf. Hari ini aku belom sempat menanyakan hadiah kesepakatan itu padamu dengan benar. Apakah yang kau pinta memang sama dengan hal yang kukatakan di taman tadi?|
|Aku hanya ingin menanyakan hal itu, maaf menggangu waktumu.|
Bintang menghela napas setelah membaca pesan tersebut. Seperti dugaannya Radhit tidak mengerti ucapannya. Masih terlalu gelap untuk dicerna seorang ksatria matahari. Jarinya terus mengetikkan sesuatu, membalas pesan Radhit.
Bintang :