Perlukah aku bercerita soal kekelaman pada seseorang? Agar bisa ku banggakan pada semua kalau aku punya jurang?
*****
Bintang menatap seseorang yang berteriak memanggil namanya. Sosoknya begitu jelas berdiri di samping pohon. Menatapnya dengan sorot ketakutan melihat tebing yang ada di dekatnya. Beruntungnya cahaya bulan purnama begitu terang, membuat penglihatan mereka tidak buta karena kegelapan hitam yang begitu pekat.
Wajahnya tampak panik melihat gadis itu begitu tenang berdiri di bibir tebing curam. Seakan-akan gadis itu sudah memakan kata 'terbiasa' untuk hal yang satu ini. padahal angin malam bisa membuat gadis mungil itu terjatuh kapan saja.
"Apa yang kau lakukan di bibir tebing seperti itu? Kau sering kesini untuk ini? Berdiri di bibir tebing di tengah malam? Kenapa?" Radhit berteriak. Sendu yang menghampirinya di balik langit jingga telah hilang. Kali ini amarahnya yang menetap, bercampur rasa panik.
"Kau sering kesini bukan karena berusaha untuk bunuh diri kan?" Dengan suara getir, Radhit tertawa. Berharap yang dikatakannya tidak lebih dari sekedar candaan.
Mendengar pertanyaan konyol yang terdengar seperti sebuah tebakan itu begitu mengejutkannya. Di bawah sinar bulan, wajah gadis itu berubah menjadi pucat, nampak panik. Radhit berhasil menemukan kepingan puzzle lainnya tanpa disengaja. Bahkan Radhit tidak menyangka melihat perubahan ekspresi Bintang. Pertanyaannya bukan sekedar candaan. Radhit makin kalut.
"Lihat! Kau masih menyembunyikan sesuatu. Kau tak pernah bercerita mengenai tebing ini dan betapa seringnya kau ingin mengakhiri hidupmu. Kenapa Bintang?!" teriaknya menggema diantara kekelaman yang pekat pada atmosfer sekitarnya.
"Kau bertanya kenapa? Perlukah aku bercerita soal kekelaman pada seseorang? Agar bisa ku banggakan pada semua kalau aku punya jurang? Mengapa? Mengapa kau selalu ingin tahu segalanya? Bahkan kekelaman milik seorang bintang."
"Jangan berbicara omong kosong dalam situasi seperti ini Bintang. Ayo kita pulang!" Dengan gontai menatap tebing curam di bawah, dirinya melangkah, menjemput gadis keras kepala itu untuk menuntunnya kembali pulang.
"Jangan berani-berani mendekat Radhit! Biarkan aku sendirian di sini. Biarkan aku menekan setengah hatiku. Dia masih ada di sekitar ku, berbisik ini itu yang harus membuatku terus pura-pura tuli." Bintang menunduk, matanya telah banjir oleh isak sejak Radhit berhasil menemukannya. "Semua ini temanku, Radhit." Senyum gadis yang dipaksakan itu begitu mengganggu perasaan Radhit, senyum yang seolah berkata semua ini sama sekali bukan apa-apa, hanya sekedar kata tidak apa-apa.
"Berhenti membicarakan setengah hati sial itu! Tidak ada yang namanya setengah hati Bintang!"
"Ada!" teriak Bintang, lantang.