Hidup dan perkataanya memang tidak selalu mengandung makna leksikal
*****
Terik matahari menyinari salah satu ruangan rumah sakit yang tengah sibuk memasang alat bantu kehidupan untuk gadis yang telah menenggelamkan dirinya di tebing kelam bersama rasa gamangnya. Dirinya berhasil menghentikan kehidupannya sendiri walaupun tidak sepenuhnya. Ruhnya berhenti bergerak dengan raganya telah terbujur koma di dunia yang masih berjalan mengikuti waktu yang tidak terhenti. Mungkin jika gadis ini masih bisa berbicara, mulutnya akan bilang bahwa ini lebih dari cukup untuknya.
Berbeda dengan di dalam ruangan yang waktunya berhenti berjalan, di luar ruangan waktu masih rajin menjalar. Menatap para manusia dengan segala kesibukannya.
Suara gaduh begitu menghias lorong yang terletak tepat di depan ruangan yang waktunya berhenti. Kegaduhan sedang mencari tanggung jawab untuk bisa mengadopsinya.
"Aku minta maaf, aku sangat-sangat minta maaf. Aku bahkan tidak menyangka dia benar-benar akan menjatuhkan dirinya. Aku salah tidak bisa menjaganya dengan baik. Aku berjanji akan menanggung segalanya." Suara beratnya menyentuh lantai rumah sakit, pipinya masih begitu nyeri setelah mendapatkan satu pukulan dari tangan ayah gadis itu. Dirinya kini bersujud tepat di depan kaki Ibu sang gadis yang tengah berdiri. Air mata sejak tadi begitu deras turun dari kedua matanya.
"Kamu mau menanggung semuanya dengan apa? Bukankah umurmu masih 17 tahun?" Tatapan mata sang ibu begitu dingin pada sosok yang tengah bersujud itu. "Sudah berdiri! Kau seharusnya bisa tenang, kami tidak menuntutmu ke pihak kepolisian. Kami tidak sejahat itu menghukum anak yatim piatu." Dengan jelas nada sindiran begitu kentara dalam kalimatnya.
"Bu, biarkan kami yang bertanggung jawab soal biaya rumah sakit. Bagaimanapun juga ini kesalahan keponakan saya." Sudah beberapa kali Bibi Hana memohon pada ibu gadis itu. Dirinya harus meninggalkan urusan di toko kuenya.
"Tidak Bi! Ini kesalahanku jadi biar aku saja yang menanggung biaya rumah sakitnya." Radhit mengelak, bahkan membuat Bibi Hana memasang wajah tidak percayanya. Dirinya tidak ingin membebankan tanggung jawabnya pada sang Bibi.
"Bertanggung jawab membayar biaya rumah sakit? Memangnya kau bisa punya uang darimana? Jangan bercanda Radhit!” Bibi Hana menyadari sesuatu di akhir kalimatnya. “Atau jangan-jangan..." ucap Bibi Hana setengah berteriak, ucapannya terhenti ketika dirinya mengingat alasan Radhit dulu harus pindah sekolah.
"Iya bi, kasino! Namun semua telah berakhir, Bintang telah mengubahku."
"Berani-beraninya kau membayar tanggung jawabmu dengan uang haram, Radhit." Bibi Hana berjalan cepat, tangannya sudah terangkat ingin menampar keponakannya. Namun terhenti ketika Ibu Bintang kembali angkat bicara.
"Wah lihat! Bahkan kami menganggap ini sebuah kecelakaan. Tapi mengapa semuanya ingin bertanggung jawab? Bahkan kami juga tidak pernah tahu anak itu terus-terusan ingin menghabisi hidupnya seperti yang dikatakan…" Ibu gadis itu nampak berpikir, mengingat nama Radhit. "Oh iya, dikatakan oleh seorang ksatria matahari. Bukankah kalau seperti itu Bintang bisa bunuh diri kapan saja dia mau?"
Sang ibu menghela nafas dan terduduk di salah satu kursi di lorong. Beberapa kali memijat keningnya. Dirinya tidak menyangka laki-laki itu mengatakan bahwa Bintang sering ke tebing kelam itu untuk mencoba bunuh diri walau pada akhirnya berakhir hanya untuk menenangkan diri. Sejak tadi matanya memerah tapi enggan juga mengeluarkan air mata untuk menangisi musibah yang terjadi pada putrinya. Apakah sudah terlalu kemarau di kedua matanya? Atau kah dirinya sudah terbiasa dengan kejutan yang sering ditunjukkan putrinya?