Karena menunggu titik semu berubah menjadi titik temu dengan iris yang tak saling beradu bukan perkara mudah untuk dicumbu.
*****
Langit siang hari begitu abu, dengan kawanan domba yang mampu menumpahkan air kapanpun dia mau. Tapi bagi seorang laki-laki dengan langkah yang tak lagi sendu, air itu masih mau menunggu sebuah harapan pada titik temu yang hampir 18 purnama hanya sebuah temu yang semu.
Tangannya membawa bingkisan ungu, dengan 18 balon yang termangu di lengan yang sudah berdebu. Karena menunggu titik semu berubah menjadi titik temu dengan iris yang tak saling beradu bukan perkara mudah untuk dicumbu. Satu pasang iris itu bertemu dengan sekujur tubuh yang sudah seperti tidak bertumpu. Senyumnya menyambut masuk ruangan putih tanpa waktu yang berlalu. Perlu waktu lama untuk senyum itu terlukis dengan tidak mengandung makna sendu.
"Kalau begitu maumu, apakah aku harus tetap menjadi kesatria matahari yang sama juga dengan kisah itu? Atau malah dimuntahkan lagi oleh horison? Mana yang harus aku pilih dari dua pilihan yang enggan aku pilih itu?"
Dalam pilihan yang tersaji dalam sendu itu, hatinya enggan untuk bilang mau. Setelah beberapa hari langkahnya tak bertamu pada ruangan tanpa waktu, hatinya memutuskan sesuatu. Tetap menganggap gadis itu mampu bertumpu pada waktu, tetap menjadikannya hidup dengan setengah hati yang masih menjadi benalu. Secara sadar dirinya menganggap gadis itu seperti dulu, senyum manis dengan mata sendu. Perpaduan aneh yang kini dirinya rindukan dalam sekendi abu yang tertuang di sungai para pandu.
"Selamat siang, princess." Kecupan manis berlabuh di keningnya. Tangannya meletakan bingkisan yang dia bawa ke nakas dan mengikat 18 balon di pinggir ranjang gadis itu. Kue ia keluarkan dari bingkisannya dan menyalakan lilin yang sudah disusun sebelumnya.
"Kelabu, menyeruak padaku. Membisikan bahwa hati ini rindu, tapi melirik pun kaku. Ya Sudah… Semoga besok masih abu. Karna, biar terus ku dicumbu oleh rindu. Ini doaku pada lilin yang terus membisu di atas susunan kue ungu milik mu. La multi ani, Putri Bintangku." Tiupan angin ia hembuskan pada lilin yang dinyalakannya sendiri. Tangannya mencolekan krim dari kue itu ke pipi gadis yang tengah tertidur. Tidak ada respon.
"Bagaimana puisiku? Bukan lagi lirik lagu yang dilafalkan seperti puisikan? Tenang saja aku belajar membuatnya sendiri. Bukan hasil berguru pada Aro." Dia tertawa kecil, meletakan kue ke nakas semula, kemudian membersihkan pipi si gadis dari krim yang dia kotori.
"Aku tahu kok kamu paling tidak suka hari ulang tahun. Ibumu sudah memberitahuku ketika kau sudah tertidur selama 6 purnama, ketika ulang tahunmu yang ke 17. Aku heran, sepertinya hanya dirimu yang tidak suka hari ulang tahunnya sendiri. Biasanya jika seseorang yang berulang tahun, dia akan meminta ini itu, minta dirayakan. Ibumu bilang, kau hanya mau menganggap hari ulang tahun seperti hari biasa. Tidak boleh ada yang mengucapkan selamat ulang tahun, tidak boleh ada yang memberi hadiah, tidak boleh merayakannya sama sekali. Hanya ingin berlalu seperti hari biasa, seperti tidak terjadi apa-apa dan hal itulah yang akhirnya ku lakukan pada ulang tahunmu yang sebelumnya. Tapi kenapa? Kenapa begitu?" tanyanya pada bisu yang sudah lama membeku. Dirinya bertopang dagu setelah tangannya menarik kursi untuk dirinya bertumpu.
"Apa hal itu mengingatkanmu pada Bulan?"
Hening, sepi begitu menjalar dengan rasa mencekam di ruangan putih ini. Gadis itu tak pernah merespon apa yang dirinya tanyakan. Tapi asa terus terukir pada diri laki-laki yang sudah terbiasa menunggu yang menggantung, tak punya kabar kapan gadis ini membuka matanya.