Ayah pernah bilang kalau aku adalah anak perempuan yang istimewa. Dia bilang, untuk anak berusia enam tahun aku sangat pandai membalas argumen, serta cepat memahami keadaan. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya, tapi karena ucapan itu keluar dari mulut ayah maka itu pasti sebuah pujian, dan itu membuatku senang.
Omong-omong, namaku Angelica Harris. Kalian harus memanggilku Angelica, tidak boleh kurang atau lebih, karena hanya ayah yang boleh memanggilku dengan nama lain. Tuan Putri, kadang-kadang Malaikat Kecil, begitulah ayah memanggilku. Ayah selalu meyakinkan aku bahwa dunia adalah tempat yang indah, semua makhluk bisa hidup dalam damai, semua makhluk bisa bahagia.
“Bagaimana kalau ada yang tidak mau bahagia?” tanyaku suatu hari.
Ayah mencium puncak kepalaku. “Semua orang pasti mau, Tuan Putri,” jawabnya. “Tapi terkadang dunia tidak mengizinkan.”
“Kenapa? Ayah bilang dunia tempat yang indah, seharusnya dunia membiarkan semua orang hidup bahagia.”
“Nanti kau akan mengerti, Sayang.”
Aku langsung diam. Tentu saja aku akan mengerti, aku ini anak pandai, bahkan yang terpandai di keluarga. Kalian akan paham jika sudah mengenal mereka semua nanti. Paman dan bibi tidak terlalu cerdas, ayah juga yang memberitahu. Setiap kali suasana hati ayah buruk, kata-kata lucu akan keluar dari mulutnya, kebanyakan tertuju kepada orang lain, khususnya Paman dan Bibi. Hal itu terjadi semalam, ayah marah-marah cukup lama, berteriak kepada entah siapa di dalam ruang kerjanya. Namun, pagi ini ayah menyambutku dengan senyum lebar, jadi aku yakin semua sudah baik.
Selesai menyisir rambut, aku membuka jendela, menghirup napas dalam-dalam. Aku selalu suka bulan April, karena musim semi sedang mencapai puncak. Setelah tiga bulan diterpa salju, bunga-bunga akhirnya bermekaran, menyebar aroma semerbak ke seluruh penjuru rumah. Aku melongok ke luar jendela, memastikan tidak ada gundukkan tanah atau genangan air berbau pesing di sekitar kebun tulip. Entah kenapa Spike suka sekali melakukan kedua urusan-nya di dekat bunga-bunga indah itu.
Untunglah area kebun belakang bersih, bunga-bunga tulip dan matahari menari ceria bersama angin. Rumput halus terhampar sepanjang mata memandang. Ayah telaten mengurus rerumputan itu, menjaganya agar tetap pendek juga halus, agar aku dan anak-anak lain tidak terluka kalau jatuh. Beberapa bunga liar seperti Dandelion, anggrek, serta petunia tumbuh di pinggiran pagar kayu. Ayah tidak pernah membabatnya, tanpa sadar bunga-bunga itu justru membuat pemandangan menjadi lebih cantik.
Kemudian, mataku menangkap pemandangan paling jelek sampai senyumku ikut pudar. Empat bayi yang heboh tertawa dengan suara cempreng memekakkan telinga. Usia para bayi belum sampai lima tahun, mungkin itu sebabnya mereka terlihat dan terdengar sangat menyebalkan. Kaki-kaki pendek mereka bahkan belum mampu berdiri lurus. Aku berani jamin tak satu pun dari keempat bayi itu mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Sebentar-sebentar tertawa, kemudian menangis. Sebentar-sebentar bermain bersama, lalu saling pukul hanya karena masalah sepele.
Di usia enam tahun, aku tidak sudi bermain dengan mereka, karena itu sama saja merendahkan diri. Aku lebih tua, dan pastinya lebih pintar. Akan tetapi, tidak jarang juga aku mempermainkan keempat bayi bodoh itu. Anggaplah itu sebuah hobi, dan aku sangat bahagia melihat wajah-wajah jelek mereka semakin jelek saat menangis. Tanpa dipaksa, otakku mulai menyusun rencana, metode apa yang akan kugunakan kali ini? Siapa yang akan kujahili lebih dulu? Pintu kamar berderit, dan wajah ramah nan jenaka ayah muncul di ambang pintu.
“Paman dan Bibimu datang, Tuan Putri. Ayo, sapa mereka.”
“Aku sudah tahu, Yah. Bayi-bayi bodoh itu berisik sekali!”
“Tidak boleh berkata begitu pada sepupumu! Ayolah, Ayah tunggu di bawah, ya, Sayang?”
Cukup puas melihatku mengangguk, ayah pun tersenyum, lantas menutup pintu. Aku punya banyak paman dan bibi, bayi-bayi bodoh yang sedang bermainn itu adalah anak-anak mereka. Kalau Paman dan Bibi datang, otomatis bayi-bayi ikut serta. Sebenarnya, ada beberapa yang bukan paman dan bibi kandung, tapi mereka selalu berkumpul di rumah jika ada kesempatan. Ayah bilang, saking lamanya bertetangga, kami menjadi satu keluarga besar. Perkataan itu selalu membuatku merinding. Rasanya lebih baik sebatang kara daripada harus berkeluarga dengan mereka.
“Benar, ‘kan, Alice?”
Gadis kurus bermata hitam itu balik menatap, dari kilatan matanya aku tahu dia setuju. Alice jarang bicara, dan saat dia melakukannya hanya aku yang paham. Dengan hati-hati kusisir rambut pirangnya yang jarang-jarang dengan jemari. Kami keluar dari kamar, bertepatan dengan Ibu yang juga keluar dari ruang kerjanya sambil asyik bertelepon.
Kalau hobiku menganggu para bayi, maka hobi Ibu adalah bertelepon. Pemandangan yang kulihat setiap saat selalu sama. Ibu mengoceh panjang dan cepat dengan gagang telepon menempel di telinga. Kadang aku bertanya-tanya, apa orang yang ibu ajak bicara di seberang sana mengerti segala ucapannya. Ibu betah berlama-lama di ruang kerja, ayah bilang karena ibu adalah seorang wanita karir yang sukses, waktunya untuk melakukan hal-hal sepele pun semakin sedikit.
Ibu bahkan tidak pernah ikut berkumpul dengan paman dan bibi untuk sekadar bertegur sapa. Biasanya ibu hanya keluar beberapa detik, seperti sekarang, ibu keluar untuk mengisi penuh botol air mineral dari dispenser. Ibuku menyukai air yang bersuhu ruam kuku, katanya sangat berguna untuk kesehatan kulit. Dari situ aku mulai menyukai air mineral bersuhu ruam kuku. Masih banyak kebiasaan ibu yang membuatku ingin menirunya. Seperti makan sayur dan buah sesering mungkin, mandi tiga kali sehari, bercermin 30 menit sebelum keluar rumah, bahkan sekadar cara duduk dengan kaki menyilang. Pokoknya, apa pun perilaku ibu adalah keren di mataku.
Begitu menyadari keberadaanku, ibu tersenyum, lantas menempelkan jari telunjuk di depan mulut, menyuruhku untuk jangan berisik. Aku mengangguk paham, melakukan hal sama sambil cekikikkan. Banyak orang bilang ibu tidak menyayangiku, atau dia bukan ibu yang paham tanggung jawab karena tidak pernah mengurus keperluanku. Mereka cuma sok tahu. Bagiku ibu adalah yang terbaik di dunia. Ibu mungkin tidak pernah terlihat di siang hari, tapi begitu malam tiba, tepatnya pukul sembilan, ibu akan masuk ke kamarku dan menemaniku sepanjang malam.
Kadang ibu membacakan dongeng, atau menyanyikan lagu nina bobo, kadang tidak melakukan apa-apa selain mengelus kepalaku sampai tertidur. Kalau saja orang-orang itu tahu keadaan di rumah kami, mereka akan sangat iri. Saat matahari bersinar aku memiliki ayah yang hebat, ketika bulan berjaga, aku memiliki ibu terbaik. Hidupku memang yang paling sempurna.
***
Seperti biasa, paman dan bibi datang bergerombol seolah tubuh mereka terikat dengan tali. Semua sedang duduk di sofa ruang tamu, terlihat beberapa cangkir teh, kopi, serta makanan kecil di meja. Rumah berukuran sedang ini menjadi penuh sesak. Ada Ayah, si kurus-jangkung Paman Stu, bersama istrinya yang bersuara cempereng, Bibi Didi. Kemudian Bibi Betty yang tubuhnya berotot seperti laki-laki, berbanding terbalik dengan sang suami—Paman Gerald—yang kemayu dan gemar beres-beres. Terakhir ada si gugup Paman Charles, atau biasa dipanggil Chaz. Dia tidak pernah membawa istri entah apa masalahnya. Aku suka membayangkan istri Paman Chaz adalah monster buruk rupa, makanya pria itu menyembunyikannya di loteng, lantas menjadi gugup setiap saat akibat menyembunyikan monster di loteng rumahnya.
Mereka membicarakan banyak hal membosankan, segala sesuatu yang hanya disukai orang-orang dewasa. Maksudku, apa yang menarik dari kecelakaan mobil, atau masalah kehamilan, atau malah wanita-wanita cantik dari biro jodoh. Mereka bersikeras menyuruh Paman Chaz untuk segera mencari istri baru, lalu wajah pria berkaca mata itu akan memerah, telunjuknya menarik kerah baju, seolah mengeluarkan udara panas dari dalam sana, bicara pun semakin gagap. Aku terkikik, jika Paman Chaz tidak mau mencari istri baru, aku tahu alasannya. Pasti karena takut istri monster di loteng marah besar.
“Ayah, lahir prematur itu apa?” tanyaku saat kalimat itu keluar dari mulut Bibi Didi.
“Bayi yang lahir sebelum waktunya.”
Wajahku terlipat, mendadak wajah keempat bayi bodoh berputar-putar di kepala. Kenapa juga aku harus bertanya. “Terus, aborsi itu apa?”
Senyum di wajah ayah berubah menjadi ringisan ketika menoleh kepada Bibi Betty, mungkin karena kata itu keluar dari mulutnya, jadi dia harus tanggung jawab menjelaskan. Bibi Betty pun balas mengusap rambut cepaknya dan tersenyum padaku.