Sayangnya, para bayi tak kunjung kembali, padahal aku sudah menunggu sangat lama. Aku paling benci disuruh menunggu, sebaiknya aku periksa mereka. Jangan-jangan bukannya membawa kukis untukku, mereka malah mengudapnya sendiri. Kalau benar begitu, aku bersumpah akan memasukan pasir ke dalam popok mereka.
Belum terlalu jauh, kedua kakiku berhenti ketika pintu pagar bergetar singkat. Ada yang menabraknya dari luar. Aku memperhatikan pintu kayu berwarna putih itu sejenak, memastikan penglihatan barusan benar-benar nyata, dan ternyata pagar itu bergerak lagi.
Mataku melirik kiri dan kanan, baru sadar ternyata aku sendirian. Spike tidak terlihat di mana-mana, padahal tadi anjing itu asyik berlarian. Rasa penasaran mengalahkan takut, sambil berjinjit aku mendekati pagar. Ada lubang kecil untuk mengintip, tapi keberanianku tidak sebesar itu untuk mengintip ada siapa di luar.
Bagaimana kalau itu penjahat? Atau gelandangan tidak waras yang suka menculik anak kecil, atau lebih buruk istri monster Paman Chaz yang akhirnya meloloskan diri dari loteng. Dengan gemetar aku mengetuk pintu kayu dengan irama, setelah hening beberapa detik, ketukan itu berbalas dengan irama sama. Spontan aku menjerit kuat-kuat, mengambil langkah seribu ke dalam rumah. Aku tidak sempat membuka sepatu, bahkan nyaris tersandung ketika menghambur ke pelukan ayah.
“Astaga, apa yang terjadi, Sayang?” tanya ayah sambil mengelus kepalaku.
“Ada monster di luar pagar!”
“Monster? Kau melihatnya?”
Aku menggeleng. “Pagar itu bergetar seperti ada yang mau mendobraknya dari luar, ketika aku mengetuknya, pintu itu malah balas mengetuk.”
Ayah terkekeh, dan segera disambut oleh tawa paman dan bibi, “Tuan Putri, monster itu tidak ada. Mungkin Spike yang membalas ketukkanmu dari luar.”
“Spike tidak bisa membalas ketukkan dengan irama ... Lagi pula, dia di dalam.”
“Kalau begitu pasti tikus tanah.” Ayah masih berusaha menenangkan.
“Kenapa tikus tanah harus mengetuk pagar? Mereka kan bisa keluar-masuk sesuka hati lewat bawah tanah.”
Ayah menggaruk kepala, sementara paman dan bibi geleng-geleng. Aku menunggu jawaban dari ayah, tapi dia malah kelihatan bingung. Tak lama, ayah menepuk-nepuk kedua bahuku, mengencangkan salah satu ikat rambutku yang kendur akibat berlari.
“Tidak akan ada monster yang bisa masuk ke sini, Tuan Putri. Ayah sudah memasang pelindung di seluruh penjuru rumah. Rumah kita dijamin bebas dari serbuan monster.” Nada bicara ayah rendah dan tenang, membuat ketakutanku hilang begitu saja.
“Benar, ya?”
“Benar, sekarang kembalilah bermain. Dan bersikap baik pada sepupumu, ya?”
Kalimat ayah barusan langsung mengingatkanku dengan para bayi, serta tujuan utama kembali ke rumah. Aku segera mengangguk sambil memamerkan senyum paling lebar, menandakan kalau aku sudah baik-baik saja. Kemudian berlari ke dapur untuk melihat apa yang sedang bayi-bayi bodoh lakukan.
Begitu sampai di sana mulutku terbuka lebar. Bukan karena para bayi memakan semua kukis di dalam stoples, mereka bahkan belum berhasil mengambilnya dari atas lemari, dan pemandangan ‘usaha keras’ itulah yang membuatku terdiam, antara ingin tertawa atau marah.
Para bayi saling menopang tubuh satu sama lain, si kembar di paling bawah menjadi pijakkan, lalu bayi paling tua di atas mereka, menggendong bayi berkaos biru di pundak, yang kedua tangannya terulur berusaha keras menggapai stoples itu.
Seaindainya tangan cebol itu lebih panjang beberapa centi, mungkin mereka akan berhasil. Tawaku nyaris meledak ketika bayi-bayi bodoh itu kehilangan keseimbangan sampai nyaris terjatuh, tapi mengingat mereka sudah membuatku menunggu sangat lama, jangan harap senyuman yang akan keluar dari wajahku.