The Rugrats Theory

Impy Island
Chapter #3

It's My Time to Run The Show, Next to Alice

“Ayolah, paksa kaki-kaki cebolmu melangkah lebih cepat! Siput saja bisa jalan lebih cepat padahal itu hewan paling lambat di dunia!”

“Siput tidak membawa barang seberat yang aku bawa.”

“Kata siapa? Kau pikir cangkang siput tidak berat? Makanya rajin membaca supaya cerdas! Oh, iya ... aku lupa kalau kau tidak bisa baca, hahaha!”

Bayi berkepala botak itu tersungut-sungut memperbaiki posisi ransel merah muda di pundak, kedua kakinya gemetaran akibat terlalu lama berdiri. Sesekali dia duduk dan merangkak, tapi itu membuat isi dalam ransel berhamburan sehingga harus dibereskan lagi dan lagi. Mungkin sudah tiga kali bayi botak itu melakukannya, dia tidak pernah belajar dari kesalahan. Begitu sampai di sebelahku dengan napas terengah-engah, ia menyodorkan ransel merah muda tersebut, yang berisi pernak-pernik Alice.

“Baiklah, Simon, tugasmu sudah selesai untuk sekarang.” Bayi itu menjawab dengan embusan napas singkat, lalu duduk di sebelahku sambil memainkan jari-jari kaki.

Simon adalah anak Paman Stu dan Bibi Didi, yang paling muda di antara keempat bayi. Jalannya masih limbung, memakai kaos warna biru muda, serta popok sekali pakai tanpa celana tambahan. Meski paling muda, Simon sering bertingkah menjadi pemimpin, berjalan paling depan, mengoceh paling banyak, bahkan kadang memberi perintah.

Kalimat kesukaannya adalah ‘Bayi harus melakukan apa yang harus dilakukan!’, dan selalu mengucapkannya dengan lantang. Kalimat payah! Lagi pula apa yang bisa dilakukan para bayi selain menangis dan buang air. Lebih buruk lagi, nama belakang Simon dan aku sama-sama Harris, hanya karena kami sepupu kandung. Nama Harris jadi terdengar memalukan, mengingat Simon si botak juga memilikinya.

“Apa tugasku juga su—sudah selesai, Angelica?”

“Tugasmu belum selesai!”

“Ta—tapi tanganku pegal sekali ....”

“Memangnya aku peduli?”

Bayi yang sedang memijat kakiku adalah Gavin, si gagap, si penakut, si gugup, si payah. Ya, semua panggilan itu cocok untuknya. Gavin berkaca mata tebal seperti Paman Chaz, rambutnya berwarna oranye, ikal dan berantakan seperti Paman Chaz. Dua gigi depannya mencuat seperti Paman Chaz, bahkan sifatnya persis Paman Chaz. Gavin bisa dibilang Paman Chaz versi bayi. Padahal dia yang paling tua, tapi dia sering terlihat berjalan paling belakang, menjadi ekor yang selalu minta perlindungan.

“Mana anginnya!” Aku menjerit kepada dua bayi berwajah sama yang tengah mengipasi dari dua sisi. “Kalau rambutku tidak bergoyang itu berarti kalian harus mengayun lebih kencang!”

Keduanya mencibir, tapi tetap menggayun kipas kecil di tangan mereka lebih cepat sampai rambutku berkibar. Mereka adalah si kembar Richie dan Vicky, aku tidak tahu siapa yang lebih tua, tidak peduli juga. Namun, aku tahu Richie laki-laki dan Vicky perempuan, karena Vicky menggunakan pita merah muda di kepala botaknya.

Dua bayi itu sama-sama memiliki sifat jahil, komyol, dan jorok. Sepertinya sifat mereka menurun dari Bibi Betty, orang yang tertawanya paling keras dan makannya paling banyak, padahal dia perempuan. Eh, mungkin tidak akan ada yang menyangka kalau dia perempuan di pertemuan pertama.

“Kapan kami ... Boleh bermain, Angelica?” Richie dan Vicky bertanya bergantian.

“Sampai aku bilang boleh.”

“Kapan kau bilang boleh?”

“Sampai aku ingin.”

“Kapan kau ingin?”

Aku menurunkan kaca mata demi menunjukkan mata memelotot. “Kalian berisik terus, aku jadi tidak ingin!”

“Kalau menjadi pelayanmu seharian, waktu kami bermain keburu habis, Angelica.” Giliran Simon yang bicara. “Nanti kalau ayah dan ibu kami pulang, kami juga harus ikut.”

“Benar ... ka—kalau main sendirian di rumah tidak seru.” Tentu saja Gavin selalu berani bicara belakangan.

“Bukannya sekarang kita juga sedang bermain? Ini namanya main pura-pura. Aku pura-pura menjadi putri, dan kalian pura-pura menjadi pelayanku.” Mataku memicing kepada mereka satu per satu. “Bukannya kalian juga suka bermain pura-pura? Apa bedanya kalau aku ikut?”

“Kalau kami cuma pura-pura menjadi pelayan, kenapa kami harus melayanimu sungguhan! Ini melelahkan, dan membuat kami tidak bisa bermain!”

“Ya! Dan kenapa kami harus melayani sungguhan untuk orang yang pura-pura menjadi Putri?”

Aku mendecak. “Kalau begitu aku tidak pura-pura menjadi putri, dan kalian juga bukan pelayan pura-pura! Semua ini asli, dan saat ini kalian berada di halaman belakang istanaku, makanya kalian harus melayaniku! Mau apa sekarang, hah?”

“Itu tidak adil!”

“Kalian cuma bayi! Mana tahu adil atau bukan!”

Tidak ada lagi yang protes, sehingga aku bisa kembali merebahkan diri, menikmati matahari musim semi. Alice ada di sebelahku juga memakai kaca mata hitam dan baju renang mini berwarna oranye agar kulitnya kecokelatan. Tentu saja aku dan Alice selalu bisa mengatasi masalah. Kalau rencana awal tidak berjalan baik, selalu ada rencana lain untuk memperbaikinya.

Ketika sedang asyik menyeruput limun lewat sedotan, seekor makhluk melompati tubuhku secepat kilat. Makhluk kurus berkaki empat, dengan bulu cokelat muda, dan moncong lancip berlendir, siapa lagi kalau bukan Spike. Limunku tumpah membasahi baju, terasa lengket dan dingin. Belum lagi noda lumpur dari kakinya mengotori bangku santai serta wajah Alice.

Bukannya merasa bersalah, anjing bodoh itu malah heboh menggaruk belakang telinga, membuat bulu-bulu halus berterbangan di udara. Aku melempar gelas plastik bekas limun ke arahnya, dan meleset.

“Spike bodoh! Lihat pakaianku dan Alice jadi kotor!”

Pasti karena aku mengentak-entakkan kaki, anjing itu mengira aku sedang mengajaknya bermain. Sekali lagi ia menyalak, lalu mengangkat kedua kaki depan, kemudian mendorongku sampai jatuh.

“SPIKE KETERLALUAN!”

Para bayi di belakangku tertawa terbahak-bahak, memuji Spike sebagai anjing pintar sehingga ia menggonggong girang, berputar-putar mengejar ekor sendiri.

“Apa yang kalian tertawakan? Cepat bantu aku berdiri!”

“Kau harus hati-hati, Angelica. Spike adalah anjing yang ceria, dia menganggap omelanmu tadi sebagai aksi lucu,” imbuh Simon ketika mendorong bokongku agar berdiri.

“Itu bukan ceria, tapi bodoh! Ya ampun, lihat Alice ... dia kotor sekali!”

Lihat selengkapnya