Hari ini rumahku begitu damai, tidak ada paman dan bibi, otomatis tidak ada tawa cempreng para bayi, atau gonggongan Spike yang menyebalkan. Spike memang bukan anjingku, tapi milik Paman Stu. Kalau aku lebih suka memelihara kucing, karena lebih bersih, elegan, dan tentu saja paling cocok untuk seorang putri. Aku punya satu kucing bernama Fluffy, seperti bulunya yang tebal dan lembut, berwarna putih bak salju. Aku sangat menyayangi Fluffy, karena kami punya kemiripan, yaitu membenci para bayi dan Spike.
Sering kali hidung Spike menjadi sasaran cakar tajamnya. Padahal anjing itu tidak melakukan kesalahan apa pun, ketahuan sekali Fluffy hanya melakukan itu untuk senang-senang. Makanya Spike lebih suka bermain di halaman belakang, menghindari Fluffy yang mengusai hampir seluruh ruangan di dalam rumah. Sekarang, kucing manis itu meringkuk di dekat meja tehku. Sore ini, aku dan Alice berdandan untuk acara minum teh. Tidak lupa aku mengenakan tiara berkilauan, karena ingat hari ini ada janji.
Ayah sedang fokus menonton pertandingan Golf di TV, sementara ibu tentu saja bekerja di ruangannya. Tepat ketika ayah bersorak karena jagoannya berhasil memasukkan bola ke dalam lubang, bel pintu depan berbunyi. Sedikit mengeluh ayah menghampiri, dan aku mengekor di belakang.
Begitu pintu di buka, hal pertama yang kulihat adalah cengiran Lizzy, anak itu mengenakan seragam suster putih lengkap dengan topinya. Begitu mendongak barulah aku sadar ada sepasang suami-istri, juga dua anak, masing-masing laki-laki dan perempuan ikut bersamanya. Aku sontak bersembunyi di balik kaki ayah.
“Halo, Tetangga. Kami penghuni baru rumah depan, hanya ingin memperkenalkan diri sebagaimana mestinya tetagga yang baik, dan kau tidak perlu kaget lagi kalau-kalau ada suara gaduh terdengar dari sana. Namaku Robert Edwards, kau bisa memanggilku Bob.” Pria paling besar bicara dengan suara berat, tapi jenaka. “Ini istriku Tina, dan anak-anakku. Aliza, Jo, dan Lizzy.”
Ayah membenarkan posisi kaca matanya sebelum balas menjabat tangan Tuan Robert, disertai senyum lebar. “Oh, Astaga. Aku bahkan tidak tahu rumah itu sudah ada penghuninya. Namaku Andrew Harris, panggil saja Drew. Dan ini putriku satu-satunya ....”
“Hai, Angelica!” Lizzy menyapa lebih dulu, membuat ayah terperangah.
“Kalian sudah saling kenal rupanya?”
Nyonya Tina tertawa. “Kemarin Lizzy datang ke halaman belakangmu untuk menemui Angelica. Dia bahkan memaksa ingin memakai seragam suster ini, katanya mereka akan bermain bersama.”
“Oh, itu sebabnya putriku juga memakai kostum bagus. Kalian membuat janji rupanya.” Ayah mengelus kepalaku. “Kalau begitu, kita masuk saja, mengobrol ditemani secangkir kopi, bagaimana?”
“Tentu ... tentu. Kami pun membawa kue kering buatan rumah.” Tuan Robert membuat gestur berbisik, padahal suaranya terdengar jelas. “Istriku paling ahli membuat kue kering. Rasanya terbaik di seluruh dunia.”
Nyonya Tina memukul suaminya manja sambil terkikik. “Ah, kau bisa saja.”
Ketika Tuan Robert dan Nyonya Tina saling rangkul, ayah ikut tertawa, meski arus matanya terlihat sendu. Mungkin ayah iri, karena ibu tidak pernah membuat kue kering, atau karena mereka tidak pernah saling rangkul semesra itu. Namun, membuat kue kering dan saling rangkul adalah hal-hal sepele, sedangkan ibu terlalu sibuk untuk hal-hal sepele. Aku yakin ayah lebih mengerti.
“Rumah yang sangat indah. Apakah kau seorang penata ruang ahli?” Mata Tuan Robert berbelanja ke setiap sisi rumah. “Setiap sudut simetris, perpaduan cat yang teduh, setiap dinding memiliki tema tersendiri. Benar-benar sarat seni.”
Ayah tergelak sebelum menjawab. “Aku memang seorang penata ruang yang bisa dibilang cukup ahli. Hampir sepuluh tahun bergelut di bidang ini sampai akhirnya dipercayakan untuk mendesign atas nama sendiri, itu sebabnya aku punya banyak waktu luang di rumah. Dan aku tebak kau pasti kritikus ruangan. Matamu jeli sekali dalam menilai.”
“Hahaha ... sebenarnya aku hanya pengaggum tata ruang. Pekerjaanku sendiri adalah kontraktor, sepertinya kita saling melengkapi. Kebetulan aku ingin merenovasi kamar Lizzy, mungkin kau bisa membantuku menata ruangannya, jujur saja aku payah dalam hal itu.”
“Dengan senang hati akan kubantu. Mungkin setelah ini giliranku yang bertamu ke sana untuk lihat-lihat.”
Begitulah, Ayah dan Tuan Robert langsung akrab, ketika mereka bertiga pergi ke dapur, lagi-lagi Tuan Robert memuji betapa cantiknya ruangan itu.
“Di mana Nyonya Harris? Rasanya aku segan bergaul dengan bapak-bapak penggila ruangan.” Nyonya Tina akhirnya bicara setelah dianggap angin sejak tadi.
Sementara itu, aku mengajak Lizzy dan kakak-kakaknya ke meja teh. Aliza adalah yang tertua, usianya 15. Sedangkan Jo satu-satunya lelaki, berusia 12. Keduanya memiliki warna rambut yang sama dengan Lizzy, hitam pekat dan keriting, bulu mata mereka juga lentik dan tebal.
Jo mulanya ikut duduk di depan meja, tapi begitu melihat perlengkapan pesta tehku yang semuanya merah muda, pipinya bersemu, lantas pamit untuk bermain video game di sofa. Begitu juga Aliza yang telepon genggamnya berdering, dan harus keluar untuk menjawab. Tinggallah aku dan Lizzy berdua.
“Kau sendirian saja, Angelica?”
“Tidak ... aku bersama Alice dan Fluffy. Dia bilang ‘hai’ padamu, Lizzy. Jawablah.”
Lizzy menatap Alice yang duduk di sebelahku beberapa detik, lantas tersenyum lebar, “Hai, Alice.” Kemudian mengelus Fluffy, tapi si kucing malah mendesis galak, dan pergi menjauh. “Aduh, sepertinya Fluffy tidak suka padaku.”
“Jangan dipikirkan, dia tidak suka siapa pun,” jawabku sambil menyeruput cangkir.
“Mana yang lain? Rasanya kemarin halaman belakangmu ramai sekali. Ada yang berperan sebagai pelayan-pelayan juga, ‘kan? Ke mana mereka?”
“Kemarin ada bayi-bayi bodoh dan Spike, makanya jadi ramai.”
Manik cokelat Lizzy berbinar-binar. “Bayi-bayi bodoh? Siapa mereka?”
“Ada Simon, Gavin, Richie dan Vicky.”
“Kenapa mereka tidak di sini sekarang?”
“Karena paman dan bibiku tidak berkunjung, para bayi terlalu bodoh untuk berjalan sendiri ke sini. Baguslah ... aku benci mereka!”
“Kenapa benci? Mereka, kan, cuma bayi.”