Perjanjian yang kubuat bersama Lizzy bukan main-main, kami tidak terpisahkan setelahnya. Seperti pohon beringin ribuan tahun, akar persahabatan kami menancap begitu dalam, bercabang-cabang menembus setiap lapisan tanah. Lizzy datang ke pesta ulang tahunku yang ke-7, dan aku datang ke pesta ulang tahunnya yang ke-8 beberapa bulan kemudian. Baru kuketahui ternyata Lizzy lebih tua, mungkin itu sebabnya dia selalu bisa memengaruhiku.
Kami berlibur ke danau Evergreen untuk bermain seluncur es setiap tahun, menikmati daun-daun oranye berguguran di sungai Krystal, berjemur di Pantai Pasir Emas saat musim panas. Ketika malam natal tiba, aku dan Lizzy selalu menghabiskan waktu di taman kota. Di sana ada pohon natal raksasa berhiaskan lampu-lampu gemerlap, serta dekorasi khas natal yang berkilauan.
Ayah dan Tuan Robert meyakinkan kami bahwa Santa Claus sendiri yang memasang bintang emas besar dipuncak pohon, karena tidak mungkin ada manusia biasa yang bisa menggapai puncak pohon natal raksasa tanpa bantuan rusa-rusa terbang. Kami mempercayainya, sampai suatu siang ketika pulang sekolah, aku dan Lizzy melihat sendiri pemasangan bintang itu.
Orang yang memasangnya tidak terlihat seperti Santa sama sekali (kurus, berwajah masam, serta sangat muda). Pria itu menaiki mobil pemadam kebakaran yang dilengkapi tangga, bukan rusa-rusa terbang, lalu menancapkan bintang tersebut dengan mudah. Saat itulah ‘kepolosan’ bukan lagi bagian dariku, fantasi menakjubkan masa kanak-kanak terjawab dengan logis satu per satu.
Di depan pohon natal raksasa yang diterangi lampu-lampu gemerlap menyilaukan, aku dan Lizzy bertukar syal, saling mengaitkan ke leher masing-masing. Itu seperti ritual kecil kami untuk memperbarui janji persahabatan setiap tahun. Padahal selera kami berbanding terbalik. Aku suka syal bercorak meriah dan berwarna cerah, sementara Lizzy lebih menyukai warna pastel tanpa corak, seperti nenek-nenek.
“Toh, nantinya kita berdua akan menjadi nenek-nenek juga.” Lizzy berdalih ketika aku mengatakan pendapat tentang selera warna syalnya.
Aku menoleh kepada para bayi yang ikut tertawa. Meskipun mereka bukan bayi lagi, aku tetap akan memanggil mereka begitu. Simon masih suka sok pintar, Gavin masih gagap, dan sepertinya tidak akan berubah, sedangkan si kembar masih senang bermain dengan hal-hal menjijikkan.
Mereka selalu ikut ke mana pun aku dan Lizzy pergi, seperti ekor jelek yang menganggu. Keempatnya bahkan membuntutiku sampai sekolah, seolah bertemu di rumah masih belum cukup. Maksudku, dari ribuan sekolah di dunia, kenapa mereka harus masuk ke sekolah yang sama denganku. Itu menjengkelkan.
Omong-omong, Aku dan Lizzy masuk Sekolah Menengah Pertama terbaik di kota. Itu sebuah pencapaian, karena hanya orang-orang berotak cerdas yang bisa masuk setelah melewati tiga tahap seleksi rumit. Meskipun, ayah bilang orang-orang tertentu tetap bisa masuk tanpa mengikuti satu seleksi pun, cukup buka dompet semua masalah beres. Sayangnya, baik aku maupun Lizzy bukan termasuk orang-orang tersebut, kami harus memeras otak lumayan keras untuk bisa lolos.
Di sekolah, kami sama-sama masuk klub tari. Sebenarnya Lizzy yang ingin, aku dan Alice hanya mengikut, tidak benar-benar tertarik dengan klub apa pun. Terumata Klub Tari. Hampir semua anggota klub memiliki dua wajah, bisa menjadi tipikal sahabat sejati idaman semua orang, lantas berubah drastis menjadi musuh besar umat manusia tergantung kepada siapa mereka berinteraksi. Kalau kalian terlahir cantik atau tampan, atau setidaknya harta kalian tidak akan habis dalam beberapa keturunan. Selamat, kalian akan mendapatkan setidaknya satu teman setia dari klub tari.
Aku sendiri tidak yakin termasuk dalam kriteria itu atau bukan, mereka tidak banyak bertingkah di depanku. Namun, perilaku teman satu klub akan berubah saat aku membawa serta Alice, mereka sering melirik-lirik sinis, bahkan membisakkan sesuatu satu sama lain.
“Angelica, kau pernah berpikir untuk meninggalkan Alice di rumah saat kita sekolah?” Lizzy berbisik di telingaku.
Sontak saja aku mengernyit, “Tidak ... kau pernah berpikir begitu?”
“Ya, kadang-kadang. Toh dia tidak pernah menyimak pelajaran apa pun, dan dia tidak mendapatkan bangku sendiri. Dia sampai harus menumpang di bangkumu selama jam pelajaran, ‘kan?”
“Aku tidak pernah keberatan.”
“Tentu tidak, tapi para guru jadi lebih senang bertanya kepadamu dalam hal apa pun. Menurutku itu sangat merepotkan.”
Aku melirik Alice, dia tidak sedang mendengarkan. Baguslah, karena diam-diam aku setuju dengan Lizzy. Bayangkan saja, selalu menjadi target pertanyaan-pertanyaan bodoh atau sulit hanya karena duduk berdua.
“Menurutmu aku harus meninggalkannya di rumah?” Lizzy menjawab dengan anggukkan kepala. “Tapi dia bisa marah besar.”
“Tinggalkan sesuatu yang bisa membuatnya sibuk, dengan begitu dia tidak mungkin sadar akan kepergianmu,” saran Lizzy, masih berbisik.
Mulutku tertutup rapat begitu Alice melirik, dia bisa saja tak acuh dengan segala ucapan orang, tapi jika itu sebuah hal negatif tentangnya, telinganya bisa setajam kelelawar. Aku tersenyum agar ia tidak curiga, lalu kami melanjutkan perjalanan pulang.
***
Begitu membuka pintu depan, aku dikejutkan dengan kehadiran Samuel yang sedang merebahkan diri di atas sofa sambil fokus membuka lembar demi lembar majalah fantasi, bola mata cokelatnya bergeser teratur dari kiri ke kanan, sementara mulutnya bergumam rendah seiring membaca, dan percayalah, itu terdengar lebih mengganggu daripada nyamuk-nyamuk di musim panas. Aku sengaja melemparkan tas ke depan wajahnya, sampai anak itu terlonjak.
“Sedang apa kau di sini, Sam?”
“Membaca majalah.” Anak itu cuek saja, malah merentangkan tubuh sebelum duduk, tidak peduli wajah serta nada bicaraku yang jelas-jelas tidak menginginkannya di sini. Selanjutnya dia menarik lenganku dengan kasar agar ikut duduk, menunjuk salah satu tulisan di dalam majalah.
“Lihatlah, Angelica. Artikel ini bilang kemungkinan di tahun 2050 alien akan menginvansi bumi! Menurutmu apa yang harus kita lakukan? Membuat ruang bawah tanah untuk sembunyi, menyerang balik dengan senjata seadanya, atau kita ajak mereka Berkeliling bumi sebagai karya wisata? Mungkin saja mereka datang dengan damai, ‘kan?”
“Wah, itu pilihan rumit. Coba kupikirkan apa yang harus kita lakukan ....” Aku mengusap dagu, berpura-pura tertarik. “Oh, mungkin langkah pertama adalah ... PULANG KE RUMAH MASING-MASING!”
“Kau tidak perlu berteriak sekeras itu. Aku punya telinga yang masih sehat!” Samuel mengorek telinganya dengan kelingking.
“Sammy, apa yang kau lakukan di sini!”