Saat usiaku sembilan tahun, aku membuat sebuah daftar berisi segala hal yang membuatku iri kepada Lizzy. Aku masih memiliki daftar itu sampai sekarang, bahkan nomornya selalu bertambah. Daftar itu berisi segala hal baik dari Lizzy yang tidak aku miliki, baik fisik maupun sifat. Salah satunya adalah ramah dan murah senyum. Kedua sifat itu membuat Lizzy cepat akrab dengan siapa saja, banyak laki-laki menyukainya, guru-guru memuji silih berganti. Tidak pernah ada orang yang bisa membenci Lizzy. Sifat itu juga yang membuatnya lebih dulu mendapatkan pacar.
Lelaki itu bernama Ethan. Kakak kelas dua tingkat, alias bisa menaikan kadar kepopuleran Lizzy di kalangan perempuan, meskipun Lizzy sendiri tidak terlalu peduli. Ethan berkulit sawo matang, dengan rambut cepak membentuk kepalanya yang lonjong, tubuhnya kurus dan tinggi. Orang-orang bilang Ethan sangat tampan. Menurutku pribadi, dia biasa saja. Tidak jelek, tapi berlebihan juga menyebutnya tampan. Aku dan Lizzy sama-sama mengiriminya surat cinta di masa orientasi. Hari itu aku tidak tahu harus mengirim surat untuk siapa. Surat sudah dibuat, tinggal mengisi nama penerima yang masih kosong. Melihat Lizzy menulis nama Ethan, aku otomatis mengikuti. Sungguh, hari itu aku tidak tahu siapa Ethan, dan kenapa Lizzy menulis surat untuknya.
Suatu hari di kantin, Ethan mendatangiku dan Lizzy yang memang ke mana-mana selalu berdua. Dia menyatakan suka kepada Lizzy, lantas memohon maaf padaku berkali-kali karena lebih memilih Lizzy. Lelaki itu bilang aku perempuan yang sangat cantik, tapi dia lebih menyukai Lizzy yang manis. Dia bisa saja menjadi pacar Lizzy, dan menjadi pasangan termanis abad ini. Tapi tidak! Dia memutuskan untuk membawa-bawa namaku dan membanding-bandingkan kami berdua. Tentu saja wajahku langsung merengut heran bercampur kesal. Saat itu juga, aku menolak dipermalukan.
“Memangnya kapan aku pernah menyukaimu?” kataku dengan sinis. “Maaf-maaf saja, kau bukan orang yang akan kupilih meskipun dunia akan kiamat besok.”
Ethan terperangah. “Tapi … kau mengirim surat untukku saat orientasi.”
“Begitu saja kau langsung berpikir aku tergila-gila padamu?” Aku mendengkus nyaris tertawa. “Kau mungkin juga berpikir kalau seluruh perempuan di sekolah ini ingin menjadi pacarmu, ya?”
“Aku ....”
“Dengar, ya. Kalau bukan karena tugas, aku tidak akan menulis surat untuk siapa pun. Apa lagi untuk cowok sepertimu, itu sangat menjijikkan!”
“Angelica!” tegur Lizzy, wajahnya tampak memerah, dia pasti terkejut dengan segala ucapanku.
“Aku harap kau tidak menerimanya, Lizzy. Aku selalu bilang, ‘beri kesempatan pada cowok jelek, dan dia pikir bisa menguasai dunia’. Kau pantas mendapatkan cowok yang lebih baik dari ini.”
Kenyataannya Lizzy memang menerima Ethan. Dia mengatakan sesuatu tentang cinta pada pandangan pertama atau semacamnya. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah aku pahami, karena bagiku hal seperti itu mustahil. Lebih buruk lagi, percakapan tempo hari nampaknya membuat Ethan menyimpan sedikit kebencian padaku. Dia tersenyum pada semua orang kecuali aku, dia akan buru-buru pergi ketika aku menghampiri Lizzy, dia bahkan membuat Lizzy melakukan sesuatu yang kupikir tidak akan pernah dilakukannya.
“Maaf, Angelica. Sepanjang Sabtu nanti, aku membuat janji dengan Ethan. Kami akan pergi dari siang, dan mungkin baru akan pulang di Minggu pagi.” Meskipun wajahnya terlihat sangat menyesal saat mengatakan itu, ekspresi kesalku tidak melunak.
“Tapi kita selalu menonton film bersama di Sabtu malam, Lizzy.”
“Aku tahu ... tapi hari Sabtu nanti adalah hari istimewaku bersama Ethan. Kami merayakan hari jadi yang ke dua bulan!”
“Kalau begitu aku ikut. Aku juga ingin merayakan hari jadi sahabatku dan pacarnya, meskipun dia cowok paling narsistik sedunia!”
Lizzy nyengir sambil mengusap kedua tangan. “Begini, Angelica ... Ethan hanya ingin menghabiskan waktu berdua denganku tanpa gangguan orang lain.”
“Aku bukan ‘orang lain’, aku ini sahabatmu!” entakku, benar-benar geram. “Oh, aku tahu, dia tidak mau aku ikut karena dia membenciku! Lizzy, masa kau lebih memilih cowok bongsor itu daripada sahabatmu!”
Gadis itu menggeleng cepat sampai kepangnya ikut bergoyang. “Ethan tidak membencimu! Hanya saja, besok hari jadiku dengan Ethan, dan kami hanya ingin menghabiskan waktu romantis berdua selama seharian penuh. Kami tidak pernah melakukan ini sebelumnya, dan kami sudah membicarakannya sejak lama.”
“Menghabiskan waktu seharian itu terdengar berlebihan, bukan? Bagaimana kalau dia berbuat macam-macam padamu, dan aku tidak di sana untuk menolong!” Aku menatapnya dengan sorot serius, mencondongkan wajah untuk berbisik. “Ayahku bilang cowok tidak bisa dipercaya, apa lagi jika lebih tua dua tahun darimu.”
Tiba-tiba Lizzy menghela napas, menerawang dengan senyum berbunga-bunga. “Ethan bukan cowok yang seperti itu. Ethan sangat baik, lembut, dan sopan. Ethan juga selalu melindungiku, membuatku merasa nyaman. Ethan benar-benar ....”
Aku menggeram. “Sekali lagi kata ‘Ethan’ keluar dari mulutmu, akan kupaksa kau memakan rumput liar ini!”
Lizzy malah terkikik, lalu menggenggam kedua tanganku. “Maaf, Angelica ... aku memang sedang tergila-gila dengan Ethan. Aku juga tidak tahu kenapa, seolah tidak bisa berpikir jernih. Aku memikirkannya setiap saat, dan berdoa supaya memimpikannya di malam hari sebelum tidur.”
“Terdengar seperti penyakit kronis ....” komentarku yang diabaikan Lizzy.
Dia tersenyum lebar. “Kau akan mengerti saat punya pacar sendiri nanti.”
Setelah itu, Lizzy benar-benar membatalkan rutinitas Sabtu malam kami, dan memilih jalan seharian bersama Ethan. Dia berbicara tentang ke taman ria, lalu makan malam, kemudian berbaring menatap bintang dari puncak bukit. Segala hal yang sudah sering kami lakukan bersama, jadi seharusnya itu tidak istimewa sama sekali. Aku heran apa yang Lizzy lihat dari Ethan, seleranya benar-benar buruk. Setidaknya ajaklah Lizzy terjun payung, atau naik helikopter, dengan begitu mungkin aku akan terkesan.
Untungnya, aku masih punya para bayi yang bisa menemani rutinitas menonton film. Meskipun kami harus melakukannya di sore hari, sebab mereka tidak diperbolehkan menginap oleh orang tua masing-masing. Film Sabtu ini bergenre horor, berkisah tentang sepasang kekasih yang sedang berkencan, tapi kencan itu dikacaukan oleh seorang pembunuh berantai yang memakai topeng ski.
Si lelaki tersabet parang di bagian dada hingga darahnya menyembur seperti air mancur, sementara yang perempuan di tarik ke dasar danau hingga kehabisan napas. Oh, aku sangat berharap kedua hal itu terjadi pada Ethan, sementara Lizzy pulang dengan selamat untuk bersujud di depan kakiku sambil meminta maaf. Bayangan itu membuat rasa sebalku sedikit berkurang.
“Jangan sedih, Angelica. Lizzy hanya sedang bahagia karena hubungannya berlangsung selama dua bulan. Biasanya hubungan di SMP tidak akan bertahan seminggu.” Simon berkomentar sambil fokus menonton. “Sebentar lagi juga dia bosan.”
“Aku tidak sedih, aku kesal. Bukan kepada Lizzy, tapi si Tolol Ethan. Dia merebut sahabatku!” jawabku dengan mulut penuh popcorn. “Lagi pula sejak kapan kau jadi ahli dalam hubungan anak SMP?”
Richie hendak mengambil popcorn dari pangkuanku, dan segera kupukul tangannya keras-keras. “Hey, kenapa harus kesal? Kau bisa balas perbuatannya,” ujar anak itu sambil mengusap punggung tangan.
Perhatianku seketika teralih kepadanya. “Apa maksudmu, Richie?”
Dia mengibas poni dari dahi, menatapku dengan alis terangkat sebelah. “Jika Lizzy mengabaikanmu karena pacar. Kau juga bisa mengabaikan Lizzy karena pacar.”
“Dengan kata lain, carilah pacar untuk dirimu sendiri, Angelica!” Vicky menambahi tanpa menoleh dari layar televisi. “Ih, darahnya terlihat sangat palsu.”
Aku menerawang sejenak, lumayan terkejut lantaran para bayi bodoh ini mendadak jadi sangat cerdas. Itu bukan ide buruk sama sekali. Tanpa Alice, otakku seolah buntu dari ide-ide cemerlang untuk menjahili para bayi, tapi sekarang malah mereka yang memberikan ide-ide cemerlang. Dunia benar-benar berputar ke arah berlawanan.
“Menurutku ... ka—kau tidak perlu melakukan itu, Angelica. Baru kali ini Lizzy membatalkan acara Sabtu malam kita. Aku ya—yakin dia tidak melakukannya dengan sengaja. Kebetulan saja hari jadinya bersamaan dengan acara rutin kita.”
Aku membuang napas kesal, tentu saja Si Payah Gavin harus merusak suasana. “Kau tahu, Gav? Tidak ada yang peduli pendapatmu!” hardikku, melempar dua butir popcorn ke dahinya.