Langkah gontai dan raut wajah menekuk sambil menahan tangis seorang gadis dengan seragam sekolahnya itu menandakan jika masalah yang dialaminya bukan masalah kecil. Airmata yang ia tahan sepanjang jalan runtuh sudah saat berada di depan rumahnya. Ia bisa mengetahui kedua orangtuanya sudah berada dirumah dengan melihat mobil sederhana yang biasa dikendarai ayahnya saat bekerja. Ia takut masuk kedalam. Karena ulahnya, semua keluarganya kena imbas.
Matanya menangkap tatapan sang ayah yang ternyata sudah berada di ambang pintu beberapa menit kemudian. Tangisannya pecah sekarang. Ia berjalan menuju ayahnya lalu meminta maaf.
"Maafkan Minyoung Ayah." dirinya terisak sambil terus memeluk kaki Ayahnya.
Seperti dugaan, kedua orangtuanya sudah mengetahui kejadian di sekolah yang membuat mereka satu keluarga seperti ini.
Ayahnya menarik anaknya untuk berdiri kemudian memeluknya dengan hangat.
"Kau tidak salah Minyoung. Ayah bangga denganmu. Jangan dipikirkan ya. Ayah salut, kau masih pegang teguh nasihat yang dulu sering Ayah ajarkan." ucap Ayahnya.
Dan Ibunya disamping mengelus punggung anaknya itu.
"Duduk dulu Ayah, Minyoung, kita bicarakan bagaimana untuk kedepannya." ajak Ibunya dengan lembut. Kemudian mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Tak lupa Ibunya membawa minum dari dalam untuk suami dan anaknya. Melihat Minyoung sangat kacau justru membuatnya semakin sedih.
"Kita sekarang bagimana Ayah?" Tanya Minyoung sambil terisak. Sesekali ia menghapus airmata dengan tangannya.
"Rumah ini kita jual. Kita pindah ke Ilsan. Maaf Ayah belum pernah memberitahu sebelumnya. Ayah punya rumah disana. Tidak begitu besar, namun cukup untuk kita bertiga." Minyoung terkejut mendengar Ayahnya bicara. Ilsan salah satu kota yang ingin Minyoung kunjungi jika liburan nanti. Dan sekarang ia bahkan bisa tinggal disana.
"Kenapa di Ilsan Ayah?" Tanya Minyoung mencoba menahan gejolak jika ia ingin sekali berteriak kesenangan kali ini.
“Untuk anak Ayah. Dia ingin sekali kesana. Jadi Ayah menanam investasi dan membeli rumah disana." jawab Ayahnya lagi sambil meledek. Perasaan Minyoung sudah agak sedikit membaik.
"Sekolah Minyoung bagaimana?" tanya ibunya kali ini.
"Di kantor, Ayah menghubungi teman Ayah yang kebetulan kepala sekolah di salah satu sekolah disana. Besok Ayah urus sekolah Minyoung." jawab ayahnya.
Ibunya mengangguk dan Minyoung seketika berkata. "Ayah sama Ibu bagaimana? Pekerjaan kalian?"
"Ayah sudah hubungi Pamanmu yang ada disana. Dia bilang sedang ada lowongan jadi staff keuangan. Kalau Ibumu ingin membuka usaha disana." Jelas Ayahnya.
Minyoung yang mendengar itu sedih. Pasalnya posisi Ayahnya disini sudah terbilang tinggi. Tapi karena ulahnya Ayahnya harus menjadi seorang staff lagi.
"Sudah jangan terlalu dipikirkan. Kita mulai lagi pelan-pelan dari bawah. Ingat, tuhan tidak tidur. Ibu percaya Ayah kamu cerdas, persis seperti anaknya. Ibu juga mau menggunakan kemampuan Ibu yang selama ini kau bilang. Ibu mau buka kedai makanan kecil disana."ucap Ibunya memberi semangat ke Minyoung.
"Ibu serius? Mau buka kedai? Nanti kubantu ya Bu setiap pulang sekolah. Ya? Ya?" Ujar Minyoung dengan semangat.
"Iya. Ibu cuma takut tiba-tiba ramai karena pelayannya cantik." goda Ibunya sambil mencolek dagu sang anak.
"Ibu" ucap Minyoung sambil malu-malu dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.