The Samurai's Grief: Loyalty and Love

Affry Johan
Chapter #1

Chapter 1 : Gubuk di Tengah Hutan

Di bawah naungan lebat pepohonan, cahaya matahari menembus celah dedaunan. Angin berdesir pelan, membawa aroma hutan yang menenangkan. Di atas tumpukan jerami, Shinji terbaring lemah. Nafasnya pendek dan tak beraturan, tubuhnya penuh luka—warisan yang tertinggal dari pertempuran terakhir yang nyaris merenggut nyawanya.

Sejenak kemudian pintu gubuk berderit terbuka, cahaya matahari menyelinap masuk. Kaede, gadis yang menemukan Shinji di ambang kematian dan merawatnya hingga kembali siuman, melangkah masuk.

"Aku harap kau tidur nyenyak tadi malam," ucap Kaede pelan, sambil menutup pintu dan melangkahkan kakinya mendekati Shinji. "Kau tampak sedikit lebih segar hari ini."

Kaede duduk di samping Shinji, lalu mulai membuka perban yang membalut dadanya. Luka-luka itu membuat Shinji meringis, namun Kaede menenangkan dengan bisikan lembut, menjanjikan bahwa ia akan berhati-hati.

"Tenang saja... aku akan melakukannya perlahan," bisiknya sambil menatap luka itu. "Kau sudah cukup kuat bertahan sejauh ini."

Sentuhannya begitu lembut, bertolak belakang dengan kerasnya hidup yang dijalani Shinji. Meski rasa sakit masih menyengat, ada secercah kedamaian yang terasa—mungkin dari hangatnya tangan Kaede, atau suara lembutnya yang menenangkan. Ia tak bisa menyangkal bahwa kehadiran gadis itu membawa kesejukan bagi jiwanya yang terluka.

Tatapan mereka saling bertemu sesaat. Dari tatapan mata Kaede, Shinji melihat sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia mencoba berbicara untuk mengucapkan terima kasih, namun hanya bisikan serak yang keluar dari bibirnya. Kaede mengangguk, memahami tanpa berkata-kata.

Shinji merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan di medan pertempuran manapun.

Perasaan apa ini?

Batinnya bergetar.

Mengapa hanya dari tatapan mata gadis ini, untuk pertama kalinya aku merasakan kedamaian?

Aku bahkan belum tahu namanya… Tapi kenapa aku ingin tetap melihat wajah itu.

Ia tak pernah percaya pada kisah cinta. Hidupnya selalu dipenuhi pertumpahan darah dan sumpah setia pada tuannya. Tapi saat ini, di dalam diri Kaede, Shinji melihat jalan hidup yang lain. Hidup yang ia pikir tidak ditakdirkan untuknya.

Apakah mungkin...jatuh cinta…di dalam keheningan seperti ini?

Tapi ia tak bisa mengelak. Apa pun namanya—rasa itu sudah mulai tumbuh.

Kaede mengoleskan ramuan ke luka-luka di tubuh Shinji, gerakannya terampil dan penuh kelembutan. Rasa sakit yang dirasakan Shinji menjadi pengingat bahwa ia masih hidup.

Sambil merawatnya, Kaede bercerita tentang hutan dan penghuninya. Tentang tumbuhan yang dapat menyembuhkan dan binatang yang berbahaya. Tentang bisikan pepohonan dan nyanyian angin. Kata-katanya melukiskan dunia yang indah, jauh dari pedang dan darah yang selama ini mengisi hidup Shinji. Dunia yang belum pernah ia temui sebelumnya.

"Aku selalu percaya... hutan menyimpan ingatan. Setiap tumbuhan dan desir angin, mereka tahu apa yang terjadi, dan mereka menyembuhkan dengan caranya sendiri," ucap Kaede sambil menatap luka-luka di tubuh Shinji. "Untuk bisa pulih, kau hanya perlu memberi waktu... dan biarkan alam menyembuhkan segalanya."

Hari berganti dan proses penyembuhan terus berjalan. Tubuh Shinji perlahan mulai pulih, luka-lukanya mulai mengering. Ia memperhatikan Kaede yang sibuk mengumpulkan dedaunan. Gerakannya bagai tarian—anggun dan penuh makna. Kecantikannya bukan dari kemewahan, tapi dari kekuatan dan kesederhanaan yang tumbuh dari hidup berdampingan dengan alam.

Ketika senja tiba, Kaede duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Shinji dan meletakkannya di dadanya. Di balik telapak tangannya, Shinji dapat merasakan detak jantung Kaede.

Kaede menatapnya, “Tidurlah,” ucapnya lembut. “Besok kita bicara tentang masa depanmu.”

Kaede menarik selimut dan berbaring di samping Shinji, kehangatannya meresap ke seluruh tubuh Shinji. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Shinji merasa seperti telah menemukan kembali tempat untuk pulang.

Apakah memang ini yang selama ini kucari?

Pikirnya, sambil menatap langit-langit gubuk gelap yang hanya diterangi oleh cahaya api dari perapian.

Bukan tentang kemenangan. Bukan tentang kehormatan. Tapi keheningan… dan seseorang yang tetap bersamaku, bahkan ketika aku tidak punya apa-apa lagi.

Ia merasakan kehangatan tubuh Kaede di sampingnya. Detak jantung gadis itu masih berdenyut pelan. Shinji merasakan ruang kosong di dalam hatinya perlahan terisi oleh rasa yang tak pernah diajarkan oleh tuannya, dan tak pernah dibayangkan oleh seorang samurai sepertinya.

Jika aku memutuskan untuk tetap tinggal... apakah itu berarti aku lemah?

Bisikan-bisikan dari masa lalunya muncul di dalam benaknya. Suara tuannya, suara klannya, suara-suara jeritan yang muncul dari setiap luka. Tapi suara itu kini terdengar jauh, tertelan suara angin dan keheningan hutan.

Atau mungkin... justru itulah keberanian yang sesungguhnya. Memilih untuk menjalani hidupku sendiri, bukan sekadar mengikuti perintah orang lain.

Ia melirikkan mata ke arah samping, memandangi wajah Kaede yang tertidur dengan damai. Rambutnya tergerai di atas jerami, nafasnya yang tenang seperti aliran sungai di balik hutan. Gadis yang berbaring di sebelahnya telah menyelamatkan bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya.

Aku takut... tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku juga penasaran. Bagaimana rasanya hidup tanpa pedang? Bagaimana rasanya tidak harus berhadapan dengan kematian setiap saat?

Shinji memejamkan mata, hatinya mulai membuka celah kecil yang tak pernah ia beri ruang sebelumnya: harapan.

Lihat selengkapnya