The Samurai's Grief: Loyalty and Love

Affry Johan
Chapter #2

Chapter 2 : Kenyataan Menyakitkan

Hutan kini terasa asing. Barisan pepohonan seakan berbisik tentang pertempuran yang menantinya di luar sana. Shinji menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah pergi kembali ke dunia yang pernah ia tinggalkan. Setiap langkah yang ia ambil menjadi pengingat akan Kaede, gadis yang telah ia tinggalkan. Kehangatannya, keteguhannya, dan cahaya dari dalam dirinya yang pernah menuntun Shinji melewati bayang-bayang keraguan. Hatinya terbelah antara tugas yang telah tertanam sejak kecil dan cinta yang kini tumbuh kuat dalam jiwanya.

Apakah ini pilihan yang tepat yang harus kuambil ?

Tanyanya dalam hati.

Semakin jauh ia berjalan, hutan semakin lebat. Dalam keheningan yang sunyi, bisikan tentang kewajiban sebagai seorang samurai kembali mengusik, seperti genderang perang yang tak henti-henti memukul pikirannya. Ia tahu bahwa hidup yang telah dipilihnya bukanlah sesuatu yang bisa ia tinggalkan begitu saja.

Jalan ini telah kupilih sejak lama. Kehormatan, sumpah, dan darah. Tapi mengapa rasanya seperti kutukan sekarang?

Perjalanan terasa berat. Langkah demi langkah terasa seperti tiada akhir. Tapi dalam pikirannya, bayangan Kaede kian jelas. Matanya yang lembut, senyumnya yang tulus, semuanya terus hidup dalam ingatannya. Ia tahu, dirinya tak akan menemukan ketenangan sampai bisa kembali merasakan sentuhan gadis itu, mendengar suara lembutnya membisikkan kedamaian di telinga.

Aku berjalan kembali menuju pertempuran, tapi hatiku tertinggal di tempat yang tak mengenal pedang. Kaede… bisakah aku kembali padamu setelah semua ini? Atau kau hanyalah bagian kecil dari hidupku yang tak akan pernah kembali?

Pikirannya melayang ke pertempuran yang menunggunya—suara dentingan pedang dan teriakan para prajurit. Tapi kini ada satu hal yang berbeda, satu cahaya kecil dalam kegelapan: kenangan akan sentuhan Kaede. Ia menyimpan kenangan itu erat-erat untuk menghadapi rasa sakit yang akan datang. Kehangatan pelukan Kaede adalah kekuatan bagi jiwanya yang lelah, dan Shinji tahu, sekarang ia bertarung bukan hanya untuk tuannya, tetapi juga untuk Kaede.

Di kejauhan, mulai terdengar hiruk pikuk desa, tanda-tanda dunia pertempuran yang menantinya kembali. Kastil tuannya berdiri megah di kejauhan, menjadi pengingat atas kehidupan lamanya yang sempat ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, menggenggam erat pedangnya. Ia sadar, pertempuran yang akan ia hadapi tak hanya soal senjata, tapi juga tentang hati dan keyakinan.

Keramaian dunia luar langsung menghujam begitu ia keluar dari hutan. Suara gaduh manusia, aroma masakan dari setiap rumah, serta hiruk-pikuk desa membuatnya sejenak terasa asing. Hatinyapun terasa hampa—rindu akan kesederhanaan gubuk kecil Kaede, saat-saat sunyi penuh ketenangan bersamanya, dan pelukan hangat yang dulu memulihkannya.

Beberapa penduduk mulai menyadari kehadirannya. Seseorang berbisik, “Itu… Shinji, bukan?”

Yang lain menimpali, “Dia hilang berhari-hari…kupikir dia sudah mati di dalam hutan.”

Shinji mendengar semuanya, tapi tetap melangkah. Pandangannya lurus ke depan, namun di dalam hatinya panggilan tugas menggema, membawanya kembali ke kehidupan penuh loyalitas. Namun di tengah panggilan itu, masih terdengar bisikan cinta Kaede, mengingatkannya pada kelembutan yang kini telah hidup dalam dirinya.

Hari berganti hari. Shinji kembali ke medan perang. Setiap pertempuran terasa berat, penuh darah dan jeritan kematian. Tapi di balik setiap tebasan pedang, ingatan akan suara lembut Kaede menjadi penyemangat bagi jiwanya. Ia bertarung dengan kegigihan yang bahkan membuat rekan-rekannya tercengang.

Ketika pertempuran kembali pecah. Musuh datang dengan suara genderang perang menggema ke segala penjuru. Tapi sebelum yang lain sempat bersiap maju ke garis depan pertempuran, Shinji sudah melangkah lebih dulu.

Dengan satu gerakan cepat, ia menerjang ke depan—pedangnya mengayun tanpa ragu. Seorang lawan roboh sebelum sempat mengangkat senjata. Yang berikutnya bahkan tak sempat menjerit saat pedang Shinji menebas mereka. Ia berputar, menghindar, menyerang—gerakannya seperti tarian yang membawa maut dalam setiap ayunan.

Tiga lawan tumbang dalam hitungan detik.

Rekan-rekannya hanya bisa terdiam, menyaksikan dengan mata terbelalak.

“Cepat sekali…” gumam salah satu samurai , napasnya tercekat.

“Dia bergerak seperti bayangan,” ujar yang lain.

Seorang samurai lain menambahkan. “Itu bukan sekadar teknik. Itu keteguhan hati seseorang yang telah meninggalkan rasa takut.”

Shinji tidak mendengar pujian itu. Baginya, perang bukan panggung. Itu adalah lorong panjang menuju satu tujuan: bertahan hidup… dan kembali pada Kaede.

Cinta yang ia simpan untuk Kaede menjadi semangat tempurnya. Di tengah-tengah hingar bingar perang, ia selalu menemukan sedikit kedamaian di malam yang sunyi—saat pikirannya melayang pada gadis yang menungunya dan harapan untuk hidup tanpa belenggu kewajiban.

Namun, medan perang tak pernah memberi ruang walau sejenak. Perintah demi perintah datang tanpa jeda, dan setiap malam ditutup dengan suara tangisan kehilangan. Meski hatinya tertambat ke hutan tempat Kaede menunggunya, Shinji tetap terikat pada sumpah seorang samurai dan tidak bisa meninggalkan medan tempur.

Sementara itu, jauh di dalam hutan, Kaede masih menunggu. Ia menatap jalur setapak yang terakhir dilaluinya bersama Shinji. Hari berganti hari, dan ia masih berharap sosok Shinji akan muncul dari balik kabut pagi. Tapi tidak pernah ada langkah kaki yang mendekat. Tidak ada suara panggilan yang memanggil namanya. Hanya sunyi dan keraguan yang ia temukan.

Lalu tibalah pada suatu hari, tubuhnya melemah. Ia lebih cepat lelah dari biasanya hingga perasaan mual kerap kali datang sepanjang hari, Kaede akhirnya mulai sadar atas sesuatu yang terjadi pada tubuhnya.

Dengan tangan gemetar, ia menyentuh perutnya. Tiba-tiba matanya terbelalak, lalu berkaca-kaca.

Jangan-jangan…

Lihat selengkapnya