Langit biru di pagi hari telah menaungi hutan sejauh mata memandang, Shinji berjalan gontai di antara semak belukar dengan perih di dalam dada, menyusuri jalan setapak yang membawanya menjauh dari gubuk tua Kaede. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah menggambarkan beban yang dirasakan di dalam hatinya. Ia datang ke hutan ini mencari kedamaian, namun justru menemukan pengkhianatan. Gadis yang ia anggap suci ternyata menyimpan sisi gelap bagaikan bagian terdalam hutan yang tak pernah terjamah.
Apa yang sebenarnya aku harapkan?
Apakah aku terlalu naif ?
Seorang gadis yang hidup sendirian di dalam hutan dan untuk selamanya tak akan pernah ternoda dengan dunia yang kejam?
Atau aku hanya membohongi diriku sendiri demi mempertahankan mimpi bersamanya?”
Ucap Shinji dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya.
Aku ingin percaya dia milikku.
Tapi Kaede… telah menunjukkan semuanya padaku.
Pikirannya terombang-ambing antara amarah dan kekecewaan.
Hari berganti hari, dan luka dari pengkhianatan Kaede perlahan mulai memudar. Rasa sakit di hatinya menjadi pengingat akan cinta yang dulu pernah ada. Hutan yang dulu menjadi tempat pelipur lara kini ternoda oleh kenangan terakhir melihat Kaede bersama dua pria lain.
Di istana, seorang samurai mendatangi kamar Shinji dan menyampaikan bahwa tuan Torikatsu memanggil Shinji secara pribadi.
"Shinji," katanya sambil membungkuk, "Tuan Torikatsu ingin bertemu denganmu sekarang. Katanya, ada sebuah urusan yang hanya bisa dibicarakan langsung denganmu."
Shinji menatapnya sejenak, alisnya berkerut. "Sekarang?" suaranya terdengar ragu, seolah mencoba menebak alasan panggilan itu.
Apa yang diinginkan tuan Torikatsu dariku kali ini?
Pikirnya, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Namun ia segera menegakkan badan, menahan rasa gelisah di dadanya. "Dimengerti. Aku segera ke sana," ucapnya tegas, meski pikirannya masih dipenuhi tanda tanya.
Shinji beranjak keluar dari kamarnya dan melangkah menuju ke ruangan utama di istana. Namun, seiring dengan langkah kaki yang semakin mendekat dengan kamar tuan Torikatsu, dada Shinji terasa semakin sesak seakan menjadi sebuah pertanda apa yang akan terjadi setelahnya.
Shinji tiba di depan kamar tuan Torikatsu. Di depannya, seorang penjaga menanyakan keperluannya.
"Shinji si samurai, ada urusan apa kau di sini?" tanya sang penjaga.
Shinji membungkuk singkat. "Tuan Torikatsu memanggilku. Aku datang untuk memenuhi panggilannya," jawabnya tenang, meski di dalam dadanya ada sedikit rasa gelisah.
Penjaga itu menatapnya sejenak, seolah meragukan kebenaran ucapannya, lalu mengangguk. "Baik. Tunggu sebentar." Ia mengetuk pintu perlahan, kemudian mendorongnya terbuka, memberi isyarat pada Shinji untuk masuk. "Kau dipersilakan masuk."
Ketika Shinji melangkah masuk, senyum kecil menghiasi wajah Torikatsu.
"Shinji," sahut Torikatsu dengan tenang, seakan menyimpan misteri yang sengaja disembunyikan. "Kau sudah lama kembali dari hutan itu… namun aku belum mendengar seluruh kisahnya darimu."
Ia melanjutkan."Kudengar ada seseorang di sana… yang menyelamatkanmu."
Shinji menelan ludahnya.
Dia tahu tentang Kaede…
“Kaede… begitu namanya, bukan?”
Ucap Torikatsu pelan. “Gadis hutan itu. Penolongmu… atau mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar penolong?”
Shinji menahan napas, ia mengepalkan kedua tangannya “Dia… hanya menyelamatkan nyawaku,” jawabnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap datar.
Torikatsu tersenyum tipis lagi, kali ini disertai tatapan curiga. “Hanya itu?” Ia berdiri perlahan. “Atau kau menyembunyikan sesuatu dariku, Shinji?”
Bibir Shinji membeku dan tidak dapat berucap apa-apa.
Torikatsu kembali duduk di kursinya dengan matanya menatap Shinji tajam,
“Aku mendengar kabar dari para pengembara,” ucapnya pelan,“Tentang seorang gadis penghuni hutan yang memberi...kenyamanan…kepada pria yang singgah... atau kepada mereka yang tersesat.”
Shinji merasakan dadanya seakan dihujam dengan keras. Setiap kata yang terlontar itu membuka kembali luka yang belum sembuh, menghidupkan kembali bayangan Kaede—senyumnya, tatapannya… dan pengkhianatan yang dilakukannya.
Torikatsu berdiri menghampiri Shinji. “Kau tahu tempatnya, bukan? Aku ingin kau mengantarku ke sana.”
Shinji menunduk, sekuat tenaga menyembunyikan gejolak emosinya. “Tuan… tempat itu tidak layak bagi seorang bangsawan.”
“Tidak layak?” Torikatsu bertanya sambil tersenyum sinis. “Atau kau takut aku melihat sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi?”
Setiap kata terasa seperti anak panah yang menancap tepat di hati Shinji.
Torikatsu melanjutkan. “Besok pagi. Kau akan membawaku ke sana." Ia menepuk pundak Shinji. “Jangan coba-coba menghilang. Aku akan tahu ke mana kau pergi.”
Shinji membungkuk, suaranya tercekat. “Saya mengerti, Tuan.”