Masih dengan derai air mata dan hati remuk redam, Deva memeluk baju putri kecilnya yang beberapa jam lalu diantarkan jasadnya ke liang lahat. Aroma hangat itu masih tertinggal di beberapa potong pakaian sang putri yang belum sempat tercuci. Putri dua tahunnya yang malang.
“Arrggh”! Deva berteriak, mencoba menghilangkan rasa sakit yang membuatnya nyaris gila. Ega seharusnya tidak pergi dengan cara seperti itu, baru saja beberapa jam, ia sudah sangat merindukan putrinya.
“Bunda... Banyu lapar.” Suara mungil itu terdengar dari celah pintu yang terbuka. Deva menoleh, sedetik kemudian membuang muka ketika melihat putranya merengek. Ia meremas baju Ega dengan keras, perasaan benci itu seketika hadir.
“Bunda... Banyu lapar,” ulangnya lagi.
Banyu. Nama itu membuatnya sadar. Deva kemudian berjalan mendekat, ia tersenyum ketika berada tepat di hadapan putranya. “Banyu, putra kesayangan Bunda. Mulai sekarang hanya ada Banyu. Jadi Banyu nggak boleh nakal. Ngerti?” Deva mengusap rambut Banyu sayang sesaat setelah Banyu mengangguk tegas patuh terhadap ucapannya. “Banyu lapar, kan? Ayo kita makan.
Banyu bernyanyi kecil di meja makan sembari menunggu ibunya kembali dari dapur membawa makanan. Meski masih berumur delapan tahun, ia juga sudah cukup mengerti kalau sang adik kecil baru saja pergi ke surga dan orang-orang di rumahnya masih dalam keadaan bersedih. Jadi ia harus berhenti membuat ulah.
“Bunda cuma bisa masak nasi goreng telur mata sapi aja. Nggak ada sosis.” Deva meletakkan sepiring nasi goreng yang asapnya mengepul.
Tanpa protes Banyu melahap nasi gorengnya dalam diam. Deva kembali menitikkan air mata, ia mengusap rambut lurus putranya, kembali mengingat kenyataan bahwa putri satu-satunya telah tiada. “Banyu, putra hebat bunda.”
“Dev... Deva, cepat ke kamar Bayu.” Bik Dina datang tergopoh-gopoh, napasnya tak beraturan karena dipakai berlari dari lantai dua, air mata juga terlihat di kedua pipinya.
Mendengar nama itu disebut membuat Deva mengeram. Namun tidak digubrisnya, ia masih menyibukkankan tatapannya pada Banyu yang sedang makan.
“Mbak Deva, tolong. Mas Adrian mukul Bayu pake ikat pinggang. Bayu lagi demam tinggi Mbak.” Kini giliran Ane—adik iparnya yang datang memohon dengan wajah yang hampir sama dengan Bik Dina.
“Banyu mau tambah?” Hanya itu yang keluar dari mulut Deva bersamaan dengan senyum manisnya, seakan-akan kedua orang dengan wajah cemas itu tak terlihat.
“Mbak!!!” Ane berteriak karena kesal. Membuat Banyu terlonjak kaget dan menjatuhkan sendoknya.
Deva menatap Ane dengan marah. “Kalian nggak lihat Banyu sedang makan?! Biarkan saja dia. Anak-itu-memang-harus-dihukum!!!” ucapnya dengan penekanan yang mengerikan, membuat Ane dan Bik Dina terdiam begitu saja.
“Siapa yang harus dihukum?!!” Suara tegas pria terdengar dari balik pintu ruang utama. Matanya memandang Deva dengan tidak suka. Namun, itu tidak berpengaruh pada Deva, karena wanita itu kembali menyibukkankan dirinya bersama Banyu.
“Pa, Mas mukul Bayu. Ayo cepat ke atas.” Ane dengan tidak sabar menarik tangan ayahnya ke tempat yang ia maksud.
Dengan langkah besar, Cipto mengikuti Ane menuju kamar Bayu, cucunya yang lain. Meski belum terlalu tahu apa yang terjadi, tetapi ia menjadi orang ketiga yang khawatir akan kondisi bocah itu.